diff --git 2020-02/Draft-RUU-Cipta-Kerja.txt 2020-10/Draft-RUU-Cipta-Kerja.txt
index b1936eb..957d27b 100644
--- 2020-02/Draft-RUU-Cipta-Kerja.txt
+++ 2020-10/Draft-RUU-Cipta-Kerja.txt
@@ -1,18 +1,22 @@
1
-RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
-NOMOR … TAHUN ….
+RANCANGAN
+UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
+NOMOR… TAHUN...
TENTANG
CIPTA KERJA
-DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
+ DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
-Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat
-Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur
-berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
-Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
-1945, Negara perlu melakukan berbagai
-upaya untuk memenuhi hak warga negara
-atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
-melalui cipta kerja;
+Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan tujuan
+pembentukan Pemerintah Negara
+Indonesia dan mewujudkan masyarakat
+Indonesia yang sejahtera, adil, dan
+makmur berdasarkan Pancasila dan
+Undang-Undang Dasar Negara Republik
+Indonesia Tahun 1945, Negara perlu
+melakukan berbagai upaya untuk
+memenuhi hak warga negara atas
+pekerjaan dan penghidupan yang layak
+bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
b. bahwa dengan cipta kerja diharapkan
mampu menyerap tenaga kerja Indonesia
yang seluas-luasnya di tengah persaingan
@@ -21,51 +25,67 @@ globalisasi ekonomi;
c. bahwa untuk mendukung cipta kerja
diperlukan penyesuaian berbagai aspek
pengaturan yang berkaitan dengan
-kemudahan dan perlindungan usaha mikro,
-kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
-investasi, dan percepatan proyek strategis
-nasional, termasuk peningkatan
-perlindungan dan kesehatan pekerja;
-2
+kemudahan, perlindungan, dan
+pemberdayaan koperasi dan usaha mikro,
+kecil, dan menengah, peningkatan
+ekosistem investasi, dan percepatan
+proyek strategis nasional, termasuk
+peningkatan perlindungan dan
+kesejahteraan pekerja;
d. bahwa pengaturan yang berkaitan dengan
-kemudahan dan perlindungan usaha mikro,
-kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
-investasi, dan percepatan proyek strategis
-nasional, termasuk peningkatan
-perlindungan dan kesehatan pekerja yang
-tersebar di berbagai Undang-Undang sektor
-saat ini tidak memenuhi kebutuhan hukum
-untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu
-dilakukan perubahan;
+kemudahan, perlindungan, dan
+pemberdayaan koperasi dan usaha mikro,
+kecil, dan menengah, peningkatan
+ekosistem investasi, dan percepatan
+proyek strategis nasional, termasuk
+peningkatan perlindungan dan
+2
+kesejahteraan pekerja yang tersebar di
+berbagai Undang-Undang sektor saat ini
+belum dapat memenuhi kebutuhan
+hukum untuk percepatan cipta kerja
+sehingga perlu dilakukan perubahan;
e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang
-berkaitan kemudahan dan perlindungan
-usaha mikro, kecil, dan menengah,
-peningkatan ekosistem investasi, dan
-percepatan proyek strategis nasional,
-termasuk peningkatan perlindungan dan
-kesehatan pekerja dilakukan melalui
+berkaitan kemudahan, perlindungan, dan
+pemberdayaan koperasi dan usaha mikro,
+kecil, dan menengah, peningkatan
+ekosistem investasi, dan percepatan
+proyek strategis nasional, termasuk
+peningkatan perlindungan dan
+kesejahteraan pekerja dilakukan melalui
perubahan Undang-Undang sektoral yang
-dilakukan secara parsial tidak efektif dan
-efisien untuk menjamin percepatan cipta
-kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum
-melalui pembentukan Undang-Undang
-dengan menggunakan metode omnibus law
-yang dapat menyelesaikan berbagai
-permasalahan dalam beberapa UndangUndang ke dalam satu Undang-Undang
-secara komprehensif;
+belum mendukung terwujudnya
+sinkronisasi dalam menjamin percepatan
+cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan
+hukum yang dapat menyelesaikan
+berbagai permasalahan dalam beberapa
+Undang-Undang ke dalam satu UndangUndang secara komprehensif;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai
mana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
-membentuk Undang-Undang tentang Cipta
-Kerja;
-3
-Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20, Pasal 27 ayat (2),
-dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
+membentuk Undang-Undang tentang
+Cipta Kerja;
+Mengingat :1.
+2.
+3.
+Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A,
+Pasal 18B, Pasal 20, 22D ayat (2), Pasal 27
+ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan
+Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
+Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
+Republik Indonesia Nomor XVI/MPR/1998
+tentang Politik Ekonomi dalam rangka
+Demokrasi Ekonomi;
+Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
+Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
+tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
+Sumberdaya Alam;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
+3
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA.
BAB I
@@ -73,25 +93,24 @@ KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha
-kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha
-mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
+kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan
+usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem
investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi
Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
-2. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya
+2. Koperasi adalah koperasi sebagaimana yang dimaksud
+dalam Undang-Undang tentang perkoperasian.
+3. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya
disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan
usaha menengah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
-3. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada
+4. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada
Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha
dan/atau kegiatannya.
-4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
+5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
-Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri
-4
+Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-5. Pemerintah adalah menteri, pimpinan lembaga, gubernur,
-atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
6. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas
@@ -106,181 +125,153 @@ kewenangan daerah otonom.
8. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang
tertentu.
-9. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat
+4
+9. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum
+atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di
+wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
+melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
+10. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat
RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang
wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan
zonasi kabupaten/kota.
-10. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang
+11. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang
diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku.
-11. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh
-Pemerintah.
+12. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat.
BAB II
-MAKSUD DAN TUJUAN
-5
+ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
-Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
+(1) Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
a. pemerataan hak;
b. kepastian hukum;
c. kemudahan berusaha;
d. kebersamaan; dan
e. kemandirian.
+(2) Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan
+asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam
+undang-undang yang bersangkutan.
Pasal 3
-Undang-Undang ini diselenggarakan dengan tujuan untuk
-menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat
-Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan
-Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas
-penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan
-UMK-M serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi,
-kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan
-kesejahteraan pekerja, investasi Pemerintah Pusat dan
-percepatan proyek strategis nasional.
+Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
+a. menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan
+memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan
+terhadap koperasi dan UMK-M serta industri dan
+perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap
+tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya, dengan tetap
+memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antar daerah
+dalam kesatuan ekonomi nasional;
+5
+b. menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta
+mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
+hubungan kerja;
+c. penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan
+dengan keberpihakan, penguatan, dan perlindungan bagi
+koperasi dan UMK-M serta industri nasional; dan
+d. penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan
+dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan
+percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada
+kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu
+pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman
+pada haluan ideologi Pancasila.
Pasal 4
-(1) Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 3, Undang-Undang ini mengatur mengenai
-kebijakan strategis Cipta Kerja.
-(2) Kebijakan strategis Cipta Kerja sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) memuat kebijakan penciptaan atau perluasan
-lapangan kerja melalui pengaturan yang terkait dengan:
-a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan
-berusaha;
-b. peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja;
-c. kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMK-M
-serta perkoperasian; dan
-d. peningkatan investasi pemerintah dan percepatan
-proyek strategis nasional.
-6
-(3) Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
-pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi
-dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
-huruf a, paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
-a. penyederhanaan Perizinan Berusaha;
-b. persyaratan investasi;
-c. kemudahan berusaha;
-d. riset dan inovasi;
-e. pengadaan lahan; dan
-f. kawasan ekonomi.
-(4) Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
-pengaturan terkait dengan peningkatan perlindungan dan
-kesejahteraan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
-huruf b paling sedikit memuat pengaturan mengenai:
-a. perlindungan pekerja untuk pekerja dengan perjanjian
-waktu kerja tertentu;
-b. perlindungan hubungan kerja atas pekerjaan yang
-didasarkan alih daya;
-c. perlindungan kebutuhan layak kerja melalui upah
-minimum;
-d. perlindungan pekerja yang mengalami pemutusan
-hubungan kerja; dan
-e. kemudahan perizinan bagi tenaga kerja asing yang
-memiliki keahlian tertentu yang masih diperlukan
-untuk proses produksi barang atau jasa.
-(5) Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
-pengaturan terkait dengan kemudahan, pemberdayaan, dan
-perlindungan UMK-M serta perkoperasian sebagaimana
-dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat
-pengaturan mengenai:
-a. kriteria UMK-M;
-b. basis data tunggal UMK-M;
-c. pengelolaan terpadu UMK-M;
-7
-d. kemudahan Perizinan Berusaha UMK-M;
-e. kemitraan, insentif, dan pembiayaan UMK-M; dan
-f. kemudahan pendirian, rapat anggota, dan kegiatan
-usaha koperasi.
-(6) Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui
-pengaturan terkait dengan peningkatan investasi
-pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling sedikit
-memuat pengaturan mengenai:
-a. pelaksanaan investasi Pemerintah Pusat melalui
-pembentukan lembaga pengelola investasi; dan
-b. penyedian lahan dan perizinan untuk percepatan
-proyek strategis nasional.
-Pasal 5
-Dalam rangka mendukung kebijakan strategis Cipta Kerja
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diperlukan
-pengaturan mengenai:
-a. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
-b. pengawasan, pembinaan, dan pengenaan sanksi.
-Pasal 6
-Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:
+Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 3, Undang-Undang ini mengatur mengenai kebijakan
+strategis Cipta Kerja yang meliputi:
a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. ketenagakerjaan;
-c. kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, UMK-M
-serta perkoperasian;
+c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi
+dan UMK-M;
d. kemudahan berusaha;
e. dukungan riset dan inovasi;
-f. pengadaan lahan;
+f. pengadaan tanah;
g. kawasan ekonomi;
h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis
nasional;
-8
i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
j. pengenaan sanksi.
+Pasal 5
+(1) Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi:
+a. peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
+b. ketenagakerjaan;
+c. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan
+koperasi dan UMK-M;
+d. kemudahan berusaha;
+e. dukungan riset dan inovasi;
+f. pengadaan tanah;
+6
+g. kawasan ekonomi;
+h. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek
+strategis nasional;
+i. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
+j. pengenaan sanksi.
+(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang
+terkait.
BAB III
-PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN
-BERUSAHA
+PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI
+DAN KEGIATAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
-Pasal 7
+Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
-b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan
-pengadaan lahan;
+b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha,
+pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.
Bagian Kedua
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Paragraf 1
Umum
-Pasal 8
+Pasal 7
(1) Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 7 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan
-tingkat risiko kegiatan usaha.
-(2) Penetapan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diperoleh berdasarkan perhitungan nilai tingkat bahaya
-dan nilai potensi terjadinya bahaya.
-9
+dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan
+tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
+7
+(2) Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan
+penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya.
(3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
-c. lingkungan; dan/atau
-d. pemanfaatan sumber daya.
+c. lingkungan;
+d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya; dan/atau
+e. risiko volatilitas.
(4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup
aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
-(5) Penilaian tingkat bahaya kegiatan usaha sebagaimana
-dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan
-memperhitungkan:
+(5) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
+(3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha; dan/atau
d. keterbatasan sumber daya.
-(6) Potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
-(2) meliputi:
-a. tidak pernah terjadi;
-b. jarang terjadi;
-c. pernah terjadi; atau
-d. sering terjadi.
+(6) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2) meliputi:
+a. hampir tidak mungkin terjadi;
+b. kemungkinan kecil terjadi;
+c. kemungkinan terjadi; atau
+d. hampir pasti terjadi.
(7) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana
-dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dan penilaian atas
-potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat
-(6), tingkat risiko kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
+dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta
+penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud
+pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha
+kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
a. kegiatan usaha berisiko rendah;
b. kegiatan usaha berisiko menengah; atau
c. kegiatan usaha berisiko tinggi.
+8
Paragraf 2
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Rendah
-10
-Pasal 9
+Pasal 8
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah
-sebagaimana dimaksud dalam 8 ayat (7) huruf a berupa
+sebagaimana dimaksud dalam 7 ayat (7) huruf a berupa
pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas
pelaksanaan kegiatan berusaha.
(2) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
@@ -289,28 +280,42 @@ untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi
Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
Paragraf 3
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Menengah
-Pasal 10
+Pasal 9
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
-menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7)
-huruf b berupa pemberian:
+menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7)
+huruf b meliputi:
+a. kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
+b. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi.
+(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
+menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+huruf a, berupa:
+a. pemberian nomor induk berusaha; dan
+b. pernyataan sertifikasi standar.
+(3) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko
+menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
+b, berupa:
a. nomor induk berusaha; dan
-b. sertifikat standar.
-(2) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-huruf b merupakan pernyataan pemenuhan standar
-pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh
-Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan usahanya.
-(3) Dalam hal sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) huruf b diperlukan untuk standardisasi produk,
-Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar
-berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan standar yang wajib
+b. pemenuhan sertifikat standar.
+(4) Pernyataan sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada
+ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha yang
+telah memenuhi standar sebelum melakukan kegiatan
+usahanya.
+(5) Pemenuhan sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada
+ayat (3) huruf b merupakan kewajiban standar yang telah
dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan
-komersialisasi produk.
+usahanya.
+9
+(6) Dalam hal sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada
+ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b diperlukan untuk
+standardisasi produk, Pemerintah Pusat menerbitkan
+sertifikat standar berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan
+standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum
+melakukan kegiatan komersialisasi produk.
Paragraf 4
Perizinan Berusaha Kegiatan Usaha Berisiko Tinggi
-11
-Pasal 11
+Pasal 10
(1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) huruf c
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c
berupa pemberian:
a. nomor induk berusaha; dan
b. izin.
@@ -321,65 +326,67 @@ pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan
standardisasi produk, Pelaku Usaha dipersyaratkan
memiliki sertifikasi standar yang diterbitkan oleh
-Pemerintah Pusat berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan
+Pemerintah Pusat berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan
standar sebelum melakukan kegiatan komersialisasi
produk.
Paragraf 5
Pengawasan
-Pasal 12
+Pasal 11
Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan
intensitas pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko kegiatan
-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7).
+usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7).
+10
Paragraf 6
Peraturan Pelaksanaan
-Pasal 13
+Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis
-risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan tata cara
-pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
-12
+risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
+dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 11 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
-Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan
-Pengadaan Lahan
+Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha,
+Pengadaan Tanah, dan Pemanfaatan Lahan
Paragraf 1
Umum
-Pasal 14
+Pasal 13
Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan
-pengadaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
-meliputi:
+pengadaan tanah dan pemanfaatan lahan sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
b. persetujuan lingkungan; dan
c. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi.
Paragraf 2
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
-Pasal 15
+Pasal 14
(1) Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 14 huruf a merupakan kesesuaian
+dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian
rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
-(2) Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan
-RDTR dalam bentuk digital yang sesuai dengan standar dan
+(2) Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR
+dalam bentuk digital dan sesuai standar.
+(3) Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana
+dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk
-mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana
-lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
-(3) Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam
-bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke
-dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
-(4) Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana
-lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat
-13
+mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi
+kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR.
+11
+(4) Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam
+bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam
+sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
+(5) Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana
+lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan
permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan usahanya melalui Perizinan Berusaha secara
-elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
+elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
+mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk
memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang.
-(5) Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan
+(6) Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
-Pelaku Usaha dapat langsung melakukan kegiatan
-usahanya.
-Pasal 16
+Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha.
+Pasal 15
(1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan
-menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
+menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan
persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui
@@ -394,19 +401,17 @@ terdiri atas:
a. rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN);
b. rencana tata ruang pulau/kepulauan;
c. rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
-d. rencana tata ruang wilayah provinsi;
-e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; dan/atau
-f. rencana tata ruang atau rencana zonasi lainnya yang
-ditetapkan Pemerintah Pusat.
-14
-Pasal 17
+d. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan/atau
+e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
+Pasal 16
Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan
Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan
bagi Pelaku Usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan
yang diatur dalam:
-a. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
+12
+a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4725);
@@ -419,7 +424,7 @@ Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
-c. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan
+c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 294,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5603); dan
@@ -427,10 +432,9 @@ d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5214).
-Pasal 18
-Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun
-2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
-15
+Pasal 17
+Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
+2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725) diubah:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 23, angka 24, angka 29, dan angka
@@ -446,7 +450,8 @@ memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana
-yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
+yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
+13
ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam
@@ -459,37 +464,37 @@ pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang.
-7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
-adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
-kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
-sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
-Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-16
-8. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
-kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
-pemerintahan daerah.
+7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
+yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
+Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan
+menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
+Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
+8. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
+penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
+pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
+kewenangan daerah otonom.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan
-landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah,
-dan masyarakat dalam penataan ruang.
+landasan hukum bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah
+Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk
meningkatkan kinerja penataan ruang yang
-diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
-dan masyarakat.
+diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah
+Daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian
tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar
penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan
-sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundangundangan.
+sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana
tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
-program beserta pembiayaannya.
+program beserta pembiayaannya.
+14
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata
@@ -497,8 +502,7 @@ ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
-dan/atau aspek fungsional.
-17
+dan/atau aspek fungsional.
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang
yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat
wilayah.
@@ -515,8 +519,17 @@ daya buatan.
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar
kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
-23. Dihapus.
-24. Dihapus.
+23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai
+kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber
+daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
+tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
+pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
+24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas
+satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan
+sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan
+sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh
+adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan
+satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
@@ -525,26 +538,37 @@ pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang
terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri
sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan
-perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
+perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan
+15
fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan
prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah
penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya
1.000.000 (satu juta) jiwa.
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk
-dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang
-18
+dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang
memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah
sistem.
28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap
-kedaulatan negara, pertahanan.
-29. Dihapus.
-30. Dihapus.
+kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan negara,
+ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan,
+termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan
+dunia.
+29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang
+penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
+pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi
+terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
+30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang
+penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai
+pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota
+terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur
-dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
+dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
-tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
+tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam,
+dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis,
+resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.
32. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah
kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang
dengan rencana tata ruang.
@@ -558,6 +582,7 @@ Pasal 5
wilayah dan sistem internal perkotaan.
(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan
terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
+16
(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif
terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan
ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
@@ -565,9 +590,10 @@ kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri
atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan.
-19
-(5) Penataan ruang dilakukan berdasarkan nilai strategis
-kawasan strategis nasional.
+(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan
+terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional,
+penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan
+penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
@@ -577,8 +603,8 @@ a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,
dan sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial,
-budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, dan
-lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan
+budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan,
+dan lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
@@ -599,40 +625,39 @@ wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu
sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi
tumpang tindih pengaturan rencana tata ruang.
-20
-(5) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara rencana tata
-ruang dengan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas
-tanah, penyelesaian tumpang tindih tersebut diatur
-dalam Peraturan Presiden.
-(6) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang
+17
+(5) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang
wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional
yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan.
-(7) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
+(6) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
-(8) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur
-dengan Undang-Undang tersendiri.
+(7) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaan sumber
+dayanya diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
+(8) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara pola ruang
+rencana tata ruang dengan kawasan hutan, izin
+dan/atau hak atas tanah, penyelesaian
+ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan
+Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 8
(1) Wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
-a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
-pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional,
-provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap
-pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
-nasional;
+a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
+terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
+nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta
+terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan
+strategis nasional;
b. pemberian bantuan teknis bagi penyusunan
rencana tata ruang wilayah provinsi, wilayah
-kabupaten/kota, dan RDTR dalam rangka
-percepatan pelaksanaan program strategis nasional;
+kabupaten/kota, dan RDTR;
c. pembinaan teknis dalam kegiatan penyusunan
rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota, dan RDTR;
d. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
-21
e. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis
nasional; dan
f. kerja sama penataan ruang antarnegara dan
@@ -641,8 +666,10 @@ antarprovinsi.
(2) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan
penataan ruang nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
-b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
-c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
+b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
+18
+c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
+nasional.
(3) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi:
a. penetapan kawasan strategis nasional;
@@ -656,27 +683,14 @@ menetapkan pedoman bidang penataan ruang.
(5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pemerintah
Pusat:
-a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
-dengan:
+a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1) rencana umum dan rencana rinci tata ruang
dalam rangka pelaksanaan penataan ruang
-wilayah nasional;
-2) arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional
-yang disusun dalam rangka pengendalian
-pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
-3) pedoman pedoman bidang penataan ruang;
-22
+wilayah nasional; dan
+2) pedoman bidang penataan ruang.
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
-(6) Pemerintah Pusat dalam melaksanakan kewenangan
-pembinaan kepada provinsi dan kabupaten/kota
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk
-pemberian bantuan teknis bagi program yang bersifat
-strategis nasional dan pembinaan teknis dalam
-kegiatan penyusunan rencana tata ruang wilayah
-provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota,
-dan RDTR.
-(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan
+(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -688,8 +702,32 @@ Pemerintah Pusat.
jawab penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-6. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
-7. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
+19
+6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 10
+Wewenang pemerintah daerah provinsi sesuai dengan
+norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang
+meliputi:
+a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
+pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan
+kabupaten/kota;
+b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; dan
+c. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan fasilitasi
+kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
+7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 11
+Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai
+dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
+ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan
+penataan ruang meliputi:
+a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap
+pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
+b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
+dan
+c. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/ kota.
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
@@ -698,12 +736,12 @@ menghasilkan:
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
-23
+pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana
tata ruang wilayah kota.
+20
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana
@@ -721,36 +759,32 @@ b. rencana umum tata ruang yang mencakup wilayah
perencanaan yang luas dan skala peta dalam
rencana umum tata ruang tersebut memerlukan
perincian sebelum dioperasionalkan.
-(6) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
-dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
-(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai ketelitian peta
-rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
-(5) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta
+rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
9. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
-dengan tetap memperhatikan aspek daya dukung dan
-daya tampung lingkungan hidup yang disusun dalam
-24
-suatu kajian lingkungan hidup strategis serta
-kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang.
-(2) Penyusunan kajian lingkungan strategis sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis daya
-dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam
-proses penyusunan rencana tata ruang.
+dengan memperhatikan:
+a. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
+dan kajian lingkungan hidup strategis;
+b. kedetailan informasi tata ruang yang akan disajikan
+serta kesesuaian ketelitian peta rencana tata
+ruang.
+(2) Penyusunan kajian lingkungan hidup strategis
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
+dalam proses penyusunan rencana tata ruang.
(3) Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta rencana tata
-ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
-melalui penyusunan peta rencana tata ruang
-berdasarkan peta Rupabumi Indonesia.
-(4) Dalam hal peta Rupabumi Indonesia sebagaimana
-dimaksud pada ayat (3) tidak tersedia, penyusunan
-rencana tata ruang mempergunakan:
-a. peta format digital dengan ketelitian detail informasi
-sesuai dengan skala perencanaan rencana tata
-ruang; dan/atau
-b. peta tematik pertanahan.
+ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
+dilakukan melalui penyusunan peta rencana tata ruang
+di atas Peta Dasar.
+21
+(4) Dalam hal Peta Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
+(3) belum tersedia, penyusunan rencana tata ruang
+dilakukan dengan menggunakan Peta Dasar lainnya.
10. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
@@ -765,8 +799,7 @@ permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi
-peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian
-25
+peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana
@@ -788,7 +821,8 @@ Pemerintah.
berikut:
Pasal 18
(1) Penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau
-kabupaten/kota dan RDTR terlebih dahulu harus
+kabupaten/kota dan RDTR terlebih dahulu harus
+22
mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah
Pusat.
(2) Sebelum diajukan persetujuan substansi kepada
@@ -800,7 +834,6 @@ publik termasuk dengan DPRD.
peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang
RDTR paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat
persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
-26
(4) Dalam hal bupati/wali kota tidak menetapkan RDTR
setelah jangka waktu sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (3), RDTR ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
@@ -818,23 +851,21 @@ wilayah nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang
meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait
dengan kawasan perdesaan dalam wilayah
-pelayanannya dan sistem jaringan prasarana
-utama;
+pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi
kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya
yang memiliki nilai strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi
-program utama jangka menengah lima tahunan;
-dan
+program utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
nasional yang berisi indikasi arahan peraturan
zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan
-Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan
-disinsentif, serta arahan sanksi.
+Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif,
+serta arahan sanksi.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi
pedoman untuk:
-27
+23
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
@@ -842,11 +873,11 @@ menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang di wilayah nasional;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
-keseimbangan perkembangan antarwilayah
-provinsi, serta keserasian antarsektor; penetapan
-lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
-e. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
-f. penataan ruang wilayah provinsi dan
+keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi,
+serta keserasian antarsektor;
+e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
+f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
+g. penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
adalah 20 (dua puluh) tahun.
@@ -857,18 +888,16 @@ dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima)
tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
-Peraturan Perundang undangan;
+peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
-dengan undang-undang;
+dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
-dengan undang-undang; dan
-d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat
-strategis.
+dengan Undang-Undang; dan
+d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-28
+berikut:
Pasal 22
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi
mengacu pada:
@@ -876,6 +905,7 @@ a. RTRWN;
b. pedoman bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan RTRW Provinsi harus memperhatikan:
+24
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
@@ -895,27 +925,27 @@ a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang
meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang
-berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam
-wilayah pelayanannya dan sistem jaringan
-prasarana wilayah provinsi;
+berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah
+pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah
+provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi
kawasan lindung dan kawasan budi daya yang
memiliki nilai strategis provinsi;
-29
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang
-berisi indikasi program utama jangka menengah
-lima tahunan; dan
+berisi indikasi program utama jangka menengah lima
+tahunan; dan
e. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
-provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan
-zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan
-Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan
-disinsentif, serta arahan sanksi.
+provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi
+sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan
+Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif,
+serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman
untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah;
+25
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang dalam wilayah provinsi;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan
@@ -931,15 +961,13 @@ setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5) Peninjauan kembali RTRW Provinsi dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun
apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
-a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
-peraturan perundang-undangan;
+a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan
+perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
-dengan undang-undang;
-30
+dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
-dengan undang-undang; dan
-d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat
-strategis.
+dengan Undang-Undang; dan
+d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(6) RTRW Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi.
(7) Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
@@ -957,6 +985,7 @@ Provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama
4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan
substansi dari Pemerintah Pusat.
15. Ketentuan Pasal 24 dihapus.
+26
16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
@@ -969,7 +998,6 @@ penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten
harus memperhatikan:
-31
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil
pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan
@@ -986,24 +1014,24 @@ Pasal 26
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang
wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang
-meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang
-terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem
-jaringan prasarana wilayah kabupaten;
-c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang
-meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan
-budi daya kabupaten;
+meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait
+dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan
+prasarana wilayah kabupaten;
+c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi
+kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya
+kabupaten;
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang
-berisi indikasi program utama jangka menengah
-lima tahunan; dan
-e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
-wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum
-peraturan zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan
-Pemanfaatan Ruang, ketentuan insentif dan
-disinsentif, serta arahan sanksi.
+berisi indikasi program utama jangka menengah lima
+tahunan; dan
+e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
+kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan
+27
+zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
+Ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta
+arahan sanksi.
(2) RTRW kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang
daerah;
-32
b. penyusunan rencana pembangunan jangka
menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
@@ -1021,14 +1049,13 @@ setiap periode 5 (lima) tahunan.
(6) Peninjauan kembali RTRW kabupaten dapat dilakukan
lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun
apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
-a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
-peraturan perundang-undangan;
+a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan
+perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
dengan Undang-Undang; dan
-d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat
-strategis.
+d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(7) RTRW kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten.
(8) Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud
@@ -1037,10 +1064,10 @@ bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari
Pemerintah Pusat.
(9) Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Bupati
-33
menetapkan RTRW kabupaten paling lama 3 (tiga)
bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari
Pemerintah Pusat.
+28
(10) Dalam hal RTRW kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (9) belum ditetapkan oleh Bupati, RTRW
kabupaten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling
@@ -1057,21 +1084,19 @@ bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang
tetap dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
-dengan atau tanpa rekomendasi pemanfaatan ruang
-dari Pemerintah Pusat.
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan
+setelah mendapat rekomendasi kesesuaian kegiatan
+pemanfaatan ruang dari Pemerintah Pusat.
20. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:
-a. penetapan peraturan zonasi;
-b. ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
-c. pemberian insentif dan disinsentif; dan
-d. pengenaan sanksi.
+a. ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
+b. pemberian insentif dan disinsentif; dan
+c. pengenaan sanksi.
21. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
-34
(1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat.
@@ -1080,7 +1105,8 @@ yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak
-melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
+melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
+29
(4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi
kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata
@@ -1093,7 +1119,7 @@ yang layak kepada instansi pemberi persetujuan.
akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah
dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan
memberikan ganti kerugian yang layak.
-(7) Setiap pejabat Pemerintah yang berwenang dilarang
+(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang dilarang
menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.
@@ -1102,10 +1128,34 @@ persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
dan tata cara pemberian ganti kerugian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-22. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
+22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 48
+(1) Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk:
+a. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
+b. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan
+wilayah yang didukungnya;
+c. konservasi sumber daya alam;
+d. pelestarian warisan budaya lokal;
+e. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan
+untuk ketahanan pangan; dan
+f. penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaanperkotaan.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan terhadap
+kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan UndangUndang.
+(3) Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan
+pada:
+30
+a. kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah
+kabupaten; atau
+b. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan
+yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah
+kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.
+(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang
+kawasan perdesaan diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
23. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 50 dihapus.
-35
25. Ketentuan Pasal 51 dihapus.
26. Ketentuan Pasal 52 dihapus.
27. Ketentuan Pasal 53 dihapus.
@@ -1126,7 +1176,8 @@ rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan
penataan ruang dan/atau penghentian pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada
-pejabat berwenang; dan
+pejabat berwenang; dan
+31
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau kepada pelaksana
kegiatan pemanfaatan ruang apabila kegiatan
@@ -1139,7 +1190,6 @@ Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata
ruang;
-36
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
dan
@@ -1165,164 +1215,93 @@ b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha.
+32
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk
peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-33. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 68
-37
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya dibidang penataan ruang diberi
-wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
-Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
-penyidikan tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang
-dicurigai adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan
-barang yang digunakan untuk melakukan tindak
-pidana;
-38
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
-34. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
+33. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
-(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang
-yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi
-39
-ruang, dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
-(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
-kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
-dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
-atau kerusakan barang.
-(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
-paling lama 8 (delapan) tahun.
-(4) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana
+(1) Setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau
+kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah
+ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian
+pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan
+fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling
+lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
+Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
+(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
+kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana
+penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling
+banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
+rupiah).
+(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
-tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
-(lima miliar rupiah).
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-35. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
+tahun dan denda paling banyak Rp8.000.000.000,00
+(delapan miliar rupiah).
+34. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai
-dengan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari
-pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 61 huruf b, dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
-rupiah).
-(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling banyak
-Rp4.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
-40
-(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
-kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
-dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
-atau kerusakan barang.
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), ayat (2) dan/atau ayat (3), dipidana dengan pidana
-penjara paling lama 5 (lima) tahun.
-(5) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana
+dengan Persetujuan Kesesuaian Tata Ruang dari
+pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 61 huruf b yang mengakibatkan
+perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana
+penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
+banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
+(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda
+atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan
+pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
+paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
+ratus juta rupiah).
+33
+(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
-tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
-(lima miliar rupiah).
-(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-36. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
+tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000.000,00
+(delapan miliar rupiah).
+35. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
-(1) Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang
-ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan
-Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 61 huruf c, dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
-rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-41
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-37. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 72
-(1) Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap
-kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
-dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 61 huruf d, dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
+Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang
+ditetapkan dalam persyaratan persetujuan Kesesuaian
+Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi
+ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
+tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
-tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 19
+36. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
+37. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 74
+(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 71 dilakukan oleh
+suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda
+terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
+terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
+pemberatan 1/3 (sepertiga) kali dari pidana denda
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70,
+Pasal 71, atau Pasal 72.
+(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
+a. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
+b. pencabutan status badan hukum.
+38. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 75
+(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak
+pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal
+70, atau Pasal 71, dapat menuntut ganti kerugian
+secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
+34
+(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
+ketentuan hukum acara perdata.
+Pasal 18
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 84, Tambahan
@@ -1332,10 +1311,10 @@ tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) diubah:
-1. Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 17 diubah, serta
-angka 18 dan angka 18A dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi
-sebagai berikut:
-42
+1. Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 17 diubah, angka 18
+dan angka 18A dihapus, serta di antara angka 14 dan angka
+15, disisipkan 1 (satu) angka yaitu angka 14A sehingga
+Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
@@ -1350,7 +1329,7 @@ rakyat.
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau
-sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi)
+sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilo meter persegi)
beserta kesatuan Ekosistemnya.
4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber
@@ -1360,14 +1339,14 @@ mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati
meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya
buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan
kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan
-berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
+berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
+35
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di
Wilayah Pesisir.
5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhtumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain
serta proses yang menghubungkannya dalam
-membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
-43
+membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
6. Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam
satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh
batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk,
@@ -1400,19 +1379,23 @@ dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung
sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah
kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan
-pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan
-44
+pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan
strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan
indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat
nasional.
14. Rencana Zonasi yang selanjutnya disingkat RZ adalah
-rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
+rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
+36
daya setiap satuan perencanaan disertai dengan
penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan
perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan
Berusaha terkait Pemanfaatan Laut.
+14A. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu
+yang selanjutnya disingkat RZ KSNT adalah rencana
+yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan
+ruang di kawasan strategis nasional tertentu.
15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat
susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung
jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan
@@ -1429,13 +1412,8 @@ oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
di setiap Kawasan perencanaan.
-17. Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1
-(satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam
-Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung
-lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan serta
-ketersediaan sarana.
+17. Dihapus.
18. Dihapus.
-45
18A. Dihapus.
19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
@@ -1451,7 +1429,8 @@ mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil secara berkelanjutan
21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang
-tertinggi ke arah darat.
+tertinggi ke arah darat.
+37
22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi
Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun
@@ -1467,8 +1446,7 @@ Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain.
25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik secara struktur atau fisik melalui
-pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun
-46
+pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun
nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
@@ -1498,11 +1476,11 @@ yang secara konsisten telah memenuhi standar baku
sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif
terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh
-Masyarakat secara sukarela.
+Masyarakat secara sukarela.
+38
30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
-mempunyai kepentingan langsung dalam
-47
+mempunyai kepentingan langsung dalam
mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan
modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata,
@@ -1535,8 +1513,7 @@ tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan
lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam
perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut
-internasional.
-48
+internasional.
36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih
berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak
@@ -1544,7 +1521,8 @@ kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili
Masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya
mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti
-kerugian.
+kerugian.
+39
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
@@ -1567,8 +1545,7 @@ Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di
-bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
-49
+bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia,
lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan,
pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan
@@ -1584,8 +1561,9 @@ a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disebut dengan RZWP-3-K;
b. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang
selanjutnya disebut dengan RZ KSN; dan
-c. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional
-Tertentu yang selanjutnya disebut dengan RZ KSNT.
+40
+c. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu
+yang selanjutnya disebut dengan RZ KSNT.
(2) Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT
@@ -1600,43 +1578,31 @@ Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan
lingkungan strategis berupa:
-50
-a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
-Peraturan Perundang undangan;
+a. bencana alam yang ditetapkan dengan Peraturan
+Perundang undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan
dengan undang-undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan
dengan undang-undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat
strategis.
-(5) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
-a ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
-(6) RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
+(5) RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
-(7) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+(6) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
-(8) Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
-pada ayat (5) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua)
-bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari
-Pemerintah Pusat.
-(9) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menetapkan
-RZWP-3-K dalam jangka waktu paling lama 3 bulan
-setelah mendapat persetujuan substansi dari
-Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
-(8), RZWP-3-K ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
3. Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni:
a. Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf a diintegrasikan ke dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi.
-51
(2) RZ KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
(3) RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-huruf c diserasikan, diselaraskan, dan
+huruf c diserasikan, diselaraskan, dan
+41
diseimbangkan dengan rencana tata ruang,
rencana zonasi kawasan antarwilayah, dan
rencana tata ruang laut.
@@ -1662,8 +1628,7 @@ daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas ruang
perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau
kecil; dan
c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses
-Masyarakat dalam pemanfaatan ruang perairan dan
-52
+Masyarakat dalam pemanfaatan ruang perairan dan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang
mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
c. Pasal 7C yang berbunyi sebagai berikut:
@@ -1674,6 +1639,7 @@ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan
Pasal 7B diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 8 dihapus.
5. Ketentuan Pasal 9 dihapus.
+42
6. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
@@ -1688,7 +1654,14 @@ dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut dari Pemerintah Pusat.
-12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berunyi sebagai
+12. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal yakni
+Pasal 16A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 16A
+Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang
+tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di
+Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2),
+dikenai sanksi administratif.
+13. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Pemberian Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di
@@ -1696,10 +1669,10 @@ Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 wajib
mempertimbangkan kelestarian Ekosistem perairan
pesisir, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan
nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
-53
(2) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut tidak
dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi.
-13. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal
+43
+14. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat
@@ -1726,18 +1699,39 @@ dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang
bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang
laut dan/atau rencana zonasi dilaksanakan sesuai
dengan perubahan ketentuan peraturan perundangundangan.
-14. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
+15. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
-54
Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
-ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka
+ayat (2) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha
-Pemanfaatan di Laut diterbitkan, dikenai sanksi
-administratif.
-15. Ketentuan Pasal 19 dihapus.
-16. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
+terkait Pemanfaatan di Laut diterbitkan, dikenai sanksi
+administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya.
+16. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 19
+44
+(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber
+daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil
+untuk kegiatan:
+a. produksi garam;
+b. biofarmakologi laut;
+c. bioteknologi laut;
+d. pemanfaatan air laut selain energi;
+e. wisata bahari;
+f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
+g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib
+memiliki Perizinan Berusaha.
+(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan selain sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan
+ketentuan peraturan perundang-undangan.
+(3) Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya
+Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang
+belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+17. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi Perizinan
@@ -1748,22 +1742,22 @@ Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
Tradisional, yang melakukan pemanfaatan sumber daya
perairan pesisir, untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari.
-17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
+18. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum
Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat.
+45
(2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-18. Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai
+19. Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22A
(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-16 diberikan kepada:
-55
+16 diberikan kepada:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia;
@@ -1773,7 +1767,7 @@ d. Masyarakat Lokal.
oleh instansi pemerintah dan tidak termasuk dalam
kebijakan nasional yang bersifat strategis diberikan
dalam bentuk konfirmasi kesesuaian ruang laut.
-19. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai
+20. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22B
Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi
@@ -1781,26 +1775,35 @@ yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi
yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan
pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha
terkait Pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat.
-20. Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai
+21. Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-21. Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai
+22. Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26A
Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulaupulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus
-memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan
+memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan
+46
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penanaman modal.
-22. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
+23. Di antara Pasal 26A dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 26B yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 26B
+Setiap Orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dalam
+memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan
+disekitarnya dalam rangka penanaman modal asing
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (1) dikenai
+sanksi administratif.
+24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
-56
-Pemerintah Pusat berwenang memberikan dan mencabut
-Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut di wilayah
-Perairan Pesisir.
-23. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+kewenangannya memberikan dan mencabut Perizinan
+Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut di wilayah Perairan
+Pesisir.
+25. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1) Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan
@@ -1808,7 +1811,7 @@ status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status zona
inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-24. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
+26. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau
@@ -1818,6 +1821,7 @@ yang sudah mendapat Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan di laut;
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara
tradisional ke dalam RZWP-3-K;
+47
c. mengusulkan wilayah kelola Masyarakat Hukum
Adat ke dalam RZWP-3-K;
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya
@@ -1829,10 +1833,9 @@ Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. memperoleh informasi berkenaan dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak
-yang berwenang atas kerugian yang menimpa
-57
-dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan
-Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
+yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya
+yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan
+Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
h. menyatakan keberatan terhadap rencana
pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka
waktu tertentu;
@@ -1858,124 +1861,63 @@ c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya,
pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan
-Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
+Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
+48
e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat
desa.
-58
-25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 70
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggung jawabnya dibidang pengelolaan wilayah pesisir
-dan pulau-pulau kecil diberi wewenang khusus sebagai
-Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
-dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
-untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-59
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
-Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
-hukum.
-26. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
+27. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
-(1) Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir
-dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan
-Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan
-60
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi
+Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan
+pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha
+terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikenai sanksi
administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
-Peraturan Pemerintah
-27. Di antara Pasal 73 dan 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
+28. Di antara Pasal 71 dan 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
+Pasal 71A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 71A
+(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 16A, Pasal 26B, dan Pasal 71 dapat berupa:
+a. peringatan tertulis;
+b. penghentian sementara kegiatan;
+c. penutupan lokasi;
+d. pencabutan Perizinan Berusaha;
+e. pembatalan Perizinan Berusaha; dan/ atau
+f. denda administratif.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+29. Di antara Pasal 73 dan 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73A
Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dalam rangka
penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan
-Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dipidana
+Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (1)
+yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
-28. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
+49
+30. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
-(1) Setiap Orang yang memanfaatkan ruang perairan dan
-Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tidak
-memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di
-Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
-kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
-dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
-atau kerusakan barang.
-(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-61
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-29. Ketentuan Pasal 75A dihapus.
-30. Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai
+Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang
+tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di
+Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang
+mengakibatkan perubahan fungsi ruang,, dipidana dengan
+pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
+banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
+31. Ketentuan Pasal 75A dihapus.
+32. Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78A
Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangundangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini
berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
-Pasal 20
-Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun
+Pasal 19
+Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5603) diubah:
@@ -1990,10 +1932,10 @@ dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
2. Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut
-dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar
+dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar
+50
Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan
Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
-62
3. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah yang dikelilingi air dan berada di atas
permukaan air pada waktu air pasang.
@@ -2026,8 +1968,7 @@ pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang laut
yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata
ruang.
10. Pelindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis
-dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber
-63
+dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber
Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan di Laut yang meliputi
konservasi Laut, pengendalian pencemaran Laut,
@@ -2036,14 +1977,15 @@ penanggulangan pencemaran, serta kerusakan dan
bencana.
11. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
-dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga
+dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga
+51
melampaui baku mutu lingkungan Laut yang telah
ditetapkan.
12. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
-Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
+Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
@@ -2060,8 +2002,7 @@ Indonesia.
(2) Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak
melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan.
(3) Penggunaan area operasional dari bangunan dan
-instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan
-64
+instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan
yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari pihak
yang berwenang.
@@ -2076,8 +2017,9 @@ berikut:
Pasal 42
(1) Pengelolaan ruang laut dilakukan untuk:
a. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan
-berdasar pada daya dukung lingkungan dan
-kearifan lokal;
+berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan
+lokal;
+52
b. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau
kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan
internasional; dan
@@ -2095,11 +2037,11 @@ sumberdaya dan lingkungan Kelautan.
4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
-65
(1) Perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) meliputi:
a. perencanaan tata ruang laut nasional;
-b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulaupulau kecil; dan
+b. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
+kecil; dan
c. perencanaan zonasi kawasan laut.
(2) Perencanaan tata ruang laut nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses
@@ -2119,6 +2061,7 @@ kawasan antarwilayah.
(5) Rencana zonasi kawasan strategis nasional
diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kawasan
strategis nasional.
+53
(6) Dalam hal perencanaan tata ruang laut nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah
ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat
@@ -2128,7 +2071,6 @@ Nasional.
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah ditetapkan,
pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan
kembali rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
-66
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang
laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
@@ -2156,27 +2098,31 @@ RZ WP-3-K.
(5) Perencanaan ruang laut secara komplementer
sebagaimana dimaksucd pada ayat (1) merupakan
penataan Rencana Tata Ruang Laut, RZ KAW, RZKSN,
-RZKSNT, dan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada
+RZ KSNT, dan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disusun saling melengkapi satu sama lain dan
bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih
pengaturan.
+54
6. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-67
Pasal 47
(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara menetap di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi wajib memiliki Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut.
-(2) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut
+(2) Ketentuan sebagamana dimaksud pada ayat (1)
+dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan
+pemanfaatan di Laut untuk memenuhi kebutuhan
+sehari-hari.
+(3) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-(3) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
+(4) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara menetap di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha
terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan dikenai
sanksi administratif.
-(4) Ketentuan mengenai Perizinan Berusaha terkait
+(5) Ketentuan mengenai Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut yang berada di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif
@@ -2196,8 +2142,8 @@ c. pemanfaatan air laut selain energi;
d. wisata bahari;
e. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam
f. telekomunikasi;
-68
-g. instalasi ketenagalistrikan;
+g. instalasi ketenagalistrikan;
+55
h. perikanan;
i. perhubungan;
j. kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
@@ -2223,27 +2169,34 @@ ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
-(1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
+Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha
-terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua
-puluh miliar rupiah).
-69
-(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
-kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
-dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
-atau kerusakan barang.
-(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
-(enam) tahun.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 21
+terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif.
+10. Di antara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan dua pasal yakni
+Pasal 49A dan Pasal 49B yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 49A
+(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
+49 dapat berupa:
+a. peringatan tertulis;
+56
+b. penghentian sementara kegiatan;
+c. penutupan lokasi;
+d. pembongkaran bangunan; dan/atau
+e. denda administratif.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+Pasal 49B
+Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut
+secara menetap yang tidak memiliki Perizinan Berusaha
+terkait Pemanfaatan Di Laut sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 47 ayat (1) yang mengakibatkan perubahan fungsi
+ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
+(enam) tahun dan pidana denda paling banyak
+Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
+Pasal 20
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
@@ -2261,10 +2214,10 @@ atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam
sistem koordinat tertentu.
3. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah
data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran,
-dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan
-70
+dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan
manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas
permukaan bumi.
+57
4. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG
adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan
sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan,
@@ -2295,25 +2248,26 @@ kerangka referensi.
disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi
gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu
kerangka referensi.
-12. Dihapus.
-71
+12. Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang
+memberikan informasi yang mencakup wilayah darat,
+pantai dan laut.
13. Dihapus.
-14. Dihapus.
-15. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
+14. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
+15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
-17. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
-mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang
+16. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
+mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang
+58
membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang
penyelenggaraan IGD.
-18. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga
+17. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian.
-19. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
+18. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan usaha.
-20. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan
+19. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan
hukum.
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -2329,7 +2283,6 @@ e. batas wilayah;
f. transportasi dan utilitas;
g. bangunan dan fasilitas umum; dan
h. penutup lahan.
-72
(2) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
Peta Rupabumi Indonesia.
(3) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada
@@ -2343,6 +2296,7 @@ Pasal 13
huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan
dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut.
+59
(2) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. garis pantai pasang tertinggi;
@@ -2362,8 +2316,7 @@ dimutakhirkan secara periodik dalam jangka waktu
tertentu atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Pemuktahiran IGD sewaktu-waktu apabila diperlukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam
-hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau
-73
+hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau
perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya
yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola
@@ -2377,10 +2330,12 @@ berikut:
Pasal 18
(1) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) diselenggarakan pada skala
-1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, dan 1:250.000.
+1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, 1:50.000, 1:250.000,
+1:1.000.000.
(2) Peta Rupabumi Indonesia skala 1:1.000
diselenggarakan pada wilayah tertentu sesuai dengan
kebutuhan.
+60
(3) Peta Rupabumi Indonesia selain pada skala
sebagaimana tercantum pada ayat (1) dapat
diselenggarakan pada skala lain sesuai dengan
@@ -2389,15 +2344,16 @@ kebutuhan.
yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
(1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerjasama
-antara Pemerintah dengan Badan Usaha.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama Pemerintah
-dengan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Presiden.
+Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama
+antara Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik
+negara.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama
+Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Presiden.
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
-74
(1) Pengumpulan Data Geospasial harus memperoleh
persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
a. dilakukan di daerah terlarang;
@@ -2418,6 +2374,7 @@ yang dilakukan oleh:
a. orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi
sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di
bidang IG;
+61
b. kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan
kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta
memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di
@@ -2430,10 +2387,9 @@ orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 56 dihapus.
Paragraf 3
-75
Persetujuan Lingkungan
-Pasal 22
-Dalam rangka memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam
+Pasal 21
+Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam
memperoleh persetujuan lingkungan, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur
@@ -2441,7 +2397,7 @@ dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
-Pasal 23
+Pasal 22
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
@@ -2453,15 +2409,15 @@ Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
-manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
+manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
+62
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
-hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
-76
+hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
@@ -2494,25 +2450,28 @@ dalamnya,
terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang
secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian lingkungan hidup strategis yang selanjutnya
-disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang
-77
+disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan,
rencana, dan/atau program.
+63
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang
selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai
dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu
-usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk
-digunakan sebagai pertimbangan pengambilan
-keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
-kegiatan.
+usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk
+digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan
+tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta
+termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan
+pemerintah.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut
-UKL-UPL adalah standar dalam pengelolaan dan
-pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
-tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
+UKL-UPL adalah rangkaian proses pengelolaan dan
+pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan dalam
+bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat
+pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan
+Berusaha atau persetujuan pemerintah.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
@@ -2528,7 +2487,6 @@ ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh
lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan
fungsinya.
-78
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
@@ -2544,7 +2502,8 @@ secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang
-diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
+diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
+64
manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa
perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada
@@ -2560,8 +2519,7 @@ serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
-kegiatan yang mengandung B3.
-79
+kegiatan yang mengandung B3.
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau
@@ -2590,12 +2548,12 @@ kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli,
serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan
-hidup.
+hidup.
+65
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
-lestari.
-80
+lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
@@ -2614,22 +2572,19 @@ terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan
masyarakat.
35. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan
-Pengelolaan Lingkungan Hidup.
-36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang
-diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha
-dan/atau kegiatan.
-37. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
+Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan
+persetujuan dari Pemerintah Pusat.
+36. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-38. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
+37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah.
-39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
+38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
-81
2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
@@ -2637,6 +2592,7 @@ Pasal 20
diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
+66
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
@@ -2647,46 +2603,35 @@ pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah
ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
-b. mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
+b. mendapat persetujuan dari pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-3. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 23
-(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
-dengan Amdal merupakan proses dan kegiatan yang
-berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial,
-ekonomi, dan budaya.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha
-dan/atau kegiatan yang berdampak penting
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
-82
-4. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
+3. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan
-lingkungan hidup.
-(2) Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
-(3) Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk
-lembaga dan/atau ahli bersertifikat.
-(4) Pemerintah Pusat menetapkan Keputusan kelayakan
-lingkungan hidup berdasarkan uji kelayakan
-lingkungan.
+lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau
+kegiatan.
+(2) Uji Kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji
+kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan
+Pemerintah Pusat.
+(3) Tim Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
+terdiri atas unsur Pemerinta Pusat, Pemerintah Daerah,
+dan ahli bersertifikat.
+(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan
+Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan
+hasil kelayakan lingkungan hidup.
(5) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), sebagai persyaratan
-penerbitan Perizinan Berusaha.
-(6) Terhadap kegiatan yang dilakukan oleh instansi
-Pemerintah, keputusan kelayakan lingkungan hidup
-sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar
-pelaksanaan kegiatan.
-(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji
+penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan
+pemerintah.
+(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji
kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-5. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
+4. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
+67
Pasal 25
Dokumen Amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau
@@ -2696,7 +2641,6 @@ dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena
dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan;
-83
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting
dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut dilaksanakan;
@@ -2705,40 +2649,41 @@ untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup.
-6. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
+5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut
Pasal 26
(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-22 disusun oleh pemrakarsa.
+22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan
+masyarakat.
(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan
melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-7. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
+6. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat
menunjuk pihak lain.
-8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
+7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
+68
Pasal 28
(1) Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat
-kompetensi penyusun Amdal.
-84
+kompetensi penyusun Amdal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria
kompetensi penyusun Amdal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-9. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
-10. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
-11. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
-12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
+8. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
+9. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
+10. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
+11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
-(1) Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah membantu
+(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membantu
penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan
Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup.
@@ -2749,7 +2694,7 @@ penyusunan Amdal.
Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kriteria sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-13. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
+12. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak
@@ -2759,17 +2704,31 @@ UKL-UPL.
pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan
hidup.
(3) Berdasarkan pernyataan kesanggupan pengelolaan
-lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), Pemerintah Pusat menerbitkan Perizinan Berusaha.
-85
+lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
+69
+(2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
+menerbitkan Perizinan Berusaha atau Persetujuan
+pemerintah.
(4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib UKL-UPL.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha/dan atau
-kegiatan yang wajib UKL-UPL sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 35 dihapus.
-15. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
-16. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur
+dengan Peraturan Pemerintah.
+13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 35
+(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi
+UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
+wajib membuat surat pernyataan kesanggupan
+pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang
+diintegrasikan kedalam Nomor Induk Berusaha.
+(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan yang
+termasuk dalam kategori beresiko rendah.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat pernyataan
+kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
+hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
+15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
@@ -2785,8 +2744,9 @@ lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau
UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
-17. Ketentuan Pasal 38 dihapus.
-18. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
+70
+16. Ketentuan Pasal 38 dihapus.
+17. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan
@@ -2794,9 +2754,8 @@ kepada masyarakat.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
-19. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
-86
-20. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
+18. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
+19. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
(1) Pemegang Perizinan Berusaha wajib menyediakan dana
@@ -2809,7 +2768,7 @@ dengan menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-21. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
+20. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
@@ -2821,126 +2780,216 @@ ketentuan pengelolaan limbah B3.
ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan
limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.
+71
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat Perizinan
-Berusaha dari Pemerintah Pusat.
+Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Persetujuan
+pemerintah.
(5) Pemerintah Pusat wajib mencantumkan persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
Perizinan Berusaha.
(6) Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib
diumumkan.
-87
-(7) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
-memfasilitasi pengelolaan berupa pengumpulan,
-pengangkutan, dan pemanfaatan, pengolahan dan/atau
-penimbunan limbah B3.
-(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah
+(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah
B3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-22. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
+21. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
-hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah
+hanya dapat dilakukan dengan Persetujuan Pemerintah
Pusat.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
-persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dengan
+persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
-23. Di antara Pasal 61 dan 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
+22. Di antara Pasal 61 dan 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61A
-Dalam hal Pelaku Usaha melakukan kegiatan dan/atau
-usaha:
+Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
a. menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
-menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah,
-dan/atau menimbun bahan berbahaya dan beracun;
+menyimpan, memanfaatkan, dan/atau mengolah bahan
+berbahaya dan beracun;
b. menghasilkan, mengangkut, menyimpan,
mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau
menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. pembuangan air limbah ke laut;
-d. pembuangan air limbah ke sumber air; dan/atau
-e. memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
-merupakan bagian dari kegiatan usaha, pengelolaan
-tersebut dinyatakan dalam Amdal dan UKL-UPL.
-88
-24. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
+d. pembuangan air limbah ke sumber air;
+e. membuang emisi ke udara; dan/atau
+f. memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
+yang merupakan bagian dari kegiatan usaha,
+pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau
+UKL-UPL.
+72
+23. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 63
-Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
-Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
+(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
+hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
-b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
-c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-RPPLH nasional;
-d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-KLHS;
-e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-amdal dan UKL-UPL;
+b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria;
+c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai RPPLH nasional;
+d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai KLHS;
+e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai amdal dan UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
nasional dan emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
-h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
-pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
-i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-sumber daya alam hayati dan nonhayati,
+h. mengoordinasikan dan melaksanakan
+pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
+lingkungan hidup;
+i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa genetik;
-j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-pengendalian dampak perubahan iklim dan
-perlindungan lapisan ozon;
-k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-B3, limbah, serta limbah B3;
-l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-perlindungan lingkungan laut;
-m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
-pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
-lintas batas negara;
-89
+j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai pengendalian dampak perubahan iklim
+dan perlindungan lapisan ozon;
+k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
+l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai perlindungan lingkungan laut;
+m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai pencemaran dan/atau kerusakan
+lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
-pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
-peraturan kepala daerah;
+pelaksanaan kebijakan tingkat nasional dan
+kebijakan tingkat provinsi;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
-penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
-ketentuan persetujuan lingkungan dan peraturan
-perundang-undangan;
+penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
+terhadap ketentuan persetujuan lingkungan dan
+peraturan perundang-undangan;
+73
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
-q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
-penyelesaian perselisihan antardaerah serta
+q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama
+dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
-t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
-keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal,
-dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
-perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
+t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara
+pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
+kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
+yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
+lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan
menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah
lingkungan hidup;
-w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
-penghargaan;
+w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
+dan penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium
lingkungan hidup;
-y. menerbitkan Perizinan Berusaha.
+y. menerbitkan Perizinan Berusaha atau persetujuan
+pemerintah;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
-25. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
+hidup, pemerintah provinsi sesuai dengan norma,
+standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
+a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
+b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat
+provinsi;
+c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai RPPLH provinsi;
+d. melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
+UKL-UPL;
+e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
+dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
+f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama
+dan kemitraan;
+74
+g. mengoordinasikan dan melaksanakan
+pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
+lingkungan hidup lintas kabupaten/kota;
+h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
+pelaksanaan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
+i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
+penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
+sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
+j. mengembangkan dan menerapkan instrumen
+lingkungan hidup;
+k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama
+dan penyelesaian perselisihan
+antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian
+sengketa;
+l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan
+pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang
+program dan kegiatan;
+m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
+n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara
+pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
+kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
+yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
+lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
+o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat
+provinsi;
+p. mengembangkan dan menyosialisasikan
+pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
+q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
+dan penghargaan;
+r. menerbitkan Perizinan Berusaha pada tingkat
+provinsi; dan
+s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup
+pada tingkat provinsi.
+(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
+hidup, pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
+norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
+oleh Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
+a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
+b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat
+kabupaten/kota;
+c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
+mengenai RPPLH tingkat kabupaten/kota;
+75
+d. melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
+UKL-UPL;
+e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
+dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
+kabupaten/kota;
+f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama
+dan kemitraan;
+g. mengembangkan dan menerapkan instrumen
+lingkungan hidup;
+h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
+i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
+penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
+sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
+j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
+k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara
+pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
+kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
+yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
+lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
+l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat
+kabupaten/kota;
+m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
+sistem informasi lingkungan hidup tingkat
+kabupaten/kota;
+n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
+dan penghargaan;
+o. menerbitkan Perizinan Berusaha pada tingkat
+kabupaten/kota; dan
+p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup
+pada tingkat kabupaten/kota.
+24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
-90
Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
+76
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media
-lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik
-Indonesia;
+lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
@@ -2955,50 +3004,68 @@ penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.
-26. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
+25. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
-(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap
-ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
-atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
-perundang-undangan di bidang perlindungan dan
-pengelolaan lingkungan hidup.
-91
-(2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan
-kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada
-pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
+(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah melakukan
+pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
+usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
+ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
+(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
+mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
+pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang
+bertanggung jawab di bidang perlindungan dan
+pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat
-menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
-merupakan pejabat fungsional.
+atau Pemerintah Daerah menetapkan pejabat pengawas
+lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-27. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
-28. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
-29. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
-30. Ketentuan Pasal 75 dihapus.
-31. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai
+26. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 72
+77
+Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
+kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib
+melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
+dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha atau
+Persetujuan pemerintah.
+27. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 73
+Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
+penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan
+Berusaha atau Persetujuan pemerintah diterbitkan oleh
+Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi
+pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan
+pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat.
+28. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 76
-(1) Pemerintah Pusat menerapkan sanksi administratif
-kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
-jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
-terhadap Persetujuan Lingkungan.
+(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan
+sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha
+dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
+pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha atau
+Persetujuan pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-32. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
+29. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 77
-Pemerintah Pusat dapat menerapkan sanksi administratif
-terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
-dalam hal Pemerintah Pusat menganggap Pemerintah
-Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi
-administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang
-perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
-33. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
-92
-34. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap
+penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal
+Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja
+tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
+pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan
+pengelolaan lingkungan hidup.
+30. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
+78
+31. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 82
(1) Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa
@@ -3011,7 +3078,66 @@ pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
-35. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
+32. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) pasal
+yakni:
+a. Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 82A
+Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
+tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (4),
+atau Persetujuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dikenai sanksi administratif.
+b. Pasal 82B yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 82B
+(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
+yang memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3),
+Pasal 36 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (4)
+atau Persetujuan dari Pemerintah sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b atau Pasal
+61 yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam
+Perizinan Berusaha atau Persetujuan Pemerintah
+dan/atau melanggar ketentuan Peraturan Perundangundangan di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan
+Lingkungan Hidup, dikenai sanksi administratif.
+(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:
+a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan
+pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
+hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
+huruf a, dimana perbuatan tersebut dilakukan
+79
+karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya
+kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka
+berat, dan/atau matinya orang dikenai sanksi
+administratif dan mewajibkan kepada Penanggung
+Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan
+fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain
+yang diperlukan; atau
+b. menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat
+kompetensi penyusun Amdal sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai sanksi
+administratif.
+(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
+perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
+mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
+laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
+yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang
+dimilikinya dikenai sanksi administratif.
+c. Pasal 82C yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 82C
+(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 82A dan Pasal 82B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
+berupa:
+a. teguran tertulis;
+b. paksaan pemerintah;
+c. denda administratif;
+d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
+e. pencabutan perizinan berusaha.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+33. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
@@ -3020,153 +3146,25 @@ mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya.
-36. Ketentuan Pasal 93 dihapus.
-37. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 98
-(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
-yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
-ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
-kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling sedikit
-Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
-banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
-93
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
-paling lama 10 (sepuluh) tahun
-(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
-manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
-4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
-dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat
-miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
-(dua belas miliar rupiah).
-(4) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana
-dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
-paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
-sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
-paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
-rupiah).
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-38. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 99
-(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
-dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
-air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
-lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
-rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-94
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dan ayat (2) mengakibatkan orang luka dan/atau
-bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
-penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
-(enam) tahun dan denda paling sedikit
-Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
-banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
-(4) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dan ayat (2) mengakibatkan orang luka berat atau
-mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
-(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan
-denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
-rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
-(sembilan miliar rupiah).
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-39. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 102
-(1) Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3
-tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 59 ayat (4) dikenai sanksi administratif
-berupa denda denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
-(satu miliar rupiah) dan paling banyak
-Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-95
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-40. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 103
-(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak
-melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 59 dikenai sanksi administratif berupa denda
-denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
-rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-41. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 104
-(1) Setiap orang yang melakukan dumping limbah
-dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling banyak
-Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-96
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-42. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
+80
+34. Ketentuan Pasal 93 dihapus.
+35. Ketentuan Pasal 102 dihapus.
+36. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
-(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
-tanpa memiliki Persetujuan Lingkungan sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 34, dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling sedikit
-Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
-banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-43. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 110
-(1) Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki
-sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-97
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-44. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
+tanpa memiliki persetujuan lingkungan sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal
+59 ayat (4), atau Persetujuan dari Pemerintah sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b yang
+mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap
+kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
+tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
+sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
+banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
+37. Ketentuan Pasal 110 dihapus.
+38. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 111
Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan
@@ -3175,7 +3173,7 @@ atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
-45. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
+39. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
@@ -3184,17 +3182,17 @@ jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan persetujuan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
-lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,
+lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,
+81
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Paragraf 4
Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi
-Pasal 24
+Pasal 23
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung
-dan sertifikat laik fungsi bangunan, Undang-Undang ini
-98
+dan sertifikat laik fungsi bangunan, Undang-Undang ini
mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
@@ -3205,13 +3203,13 @@ b. Undang-Undang 6 Tahun 207 tentang Arsitek (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6108).
-Pasal 25
+Pasal 24
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4247) diubah:
-1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 14 diubah, angka 15
-dihapus, disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16,
+1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 14, dan angka 15
+diubah, disisipkan 3 (tiga) angka baru, yakni angka 16,
angka 17, dan angka 18 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
@@ -3223,10 +3221,10 @@ dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk
hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
-kegiatan khusus.
+kegiatan khusus.
+82
2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan
-pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis
-99
+pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis
dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan
pemanfaatan, pelestarian, dan pem-bongkaran.
3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan
@@ -3259,8 +3257,7 @@ kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut
hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.
10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan
gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung
-berdasarkan kesepa-katan dengan pemilik bangunan
-100
+berdasarkan kesepa-katan dengan pemilik bangunan
gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola
bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai
dengan fungsi yang ditetapkan.
@@ -3270,6 +3267,7 @@ berbadan hukum, yang mempunyai sertifikat kompetensi
kerja kualifikasi ahli atau sertifikat badan usaha untuk
melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi
Bangunan Gedung.
+83
12. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan
hukum atau usaha, dan lembaga atau organisasi yang
kegiatannya di bidang bangunan gedung, termasuk
@@ -3285,7 +3283,13 @@ yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-15. Dihapus.
+15. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
+pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan
+perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan
+tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
+Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
+Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
+Tahun 1945.
16. Penyedia Jasa Konstruksi adalah pemberi layanan Jasa
Konstruksi.
17. Profesi Ahli adalah seseorang yang telah memenuhi
@@ -3294,8 +3298,8 @@ diakreditasi oleh Pemerintah Pusat.
18. Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut
Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki
kompetensi, yang diberi tugas oleh Pemerintah Pusat
-101
-untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan
+atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya untuk
+melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan
Bangunan Gedung.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
@@ -3305,6 +3309,7 @@ bangunan gedung.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+84
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
@@ -3326,8 +3331,7 @@ berikut:
Pasal 7
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi standar
teknis bangunan gedung sesuai dengan fungsi dan
-klasifikasi bangunan gedung.
-102
+klasifikasi bangunan gedung.
(2) Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah
dan/atau air untuk bangunan gedung harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
@@ -3341,6 +3345,7 @@ Peraturan Pemerintah.
5. Ketentuan Pasal 8 dihapus.
6. Ketentuan Pasal 9 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
+85
8. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
@@ -3361,9 +3366,9 @@ dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Ketentuan Pasal 20 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 21 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 22 dihapus.
-103
20. Ketentuan Pasal 23 dihapus.
21. Ketentuan Pasal 24 dihapus.
+86
22. Ketentuan Pasal 25 dihapus.
23. Ketentuan Pasal 26 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
@@ -3392,10 +3397,10 @@ bangunan gedung, pemilik bangunan gedung yang
belum memenuhi standar teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap harus memenuhi
ketentuan standar teknis secara bertahap.
+87
32. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
-104
(1) Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan
melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan.
@@ -3422,16 +3427,19 @@ ayat (1), harus dilengkapi hasil pengujian untuk
mendapatkan persetujuan rencana teknis dari
Pemerintah Pusat.
(7) Hasil perencanaan harus dikonsultasikan dengan
-Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pernyataan
-pemenuhan standar teknis bangunan gedung.
+Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat untuk mendapatkan pernyataan pemenuhan
+standar teknis bangunan gedung.
(8) Dalam hal perencanaan bangunan gedung yang
menggunakan prototipe yang ditetapkan Pemerintah
Pusat, perencanaan bangunan gedung tidak
memerlukan kewajiban konsultasi dan tidak
memerlukan pemeriksaan pemenuhan standar.
-105
33. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
34. Di antara pasal 36 dan 37 disisipkan 2 (dua) pasal yakni:
+88
a. Pasal 36A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
(1) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud
@@ -3440,9 +3448,15 @@ mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperoleh setelah mendapatkan pernyataan
pemenuhan standar teknis bangunan gedung dari
+Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-dimohonkan kepada Pemerintah Pusat melalui
+dimohonkan kepada Pemerintah Pusat atau
+Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
+berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui
sistem elektronik yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat.
b. Pasal 36B yang berbunyi sebagai berikut:
@@ -3455,7 +3469,10 @@ ketentuan peraturan perundang-undangan.
konstruksi melakukan kegiatan pengawasan dan
bertanggung jawab untuk melaporkan setiap
tahapan pekerjaan.
-(3) Pemerintah Pusat melakukan inspeksi pada setiap
+(3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat melakukan inspeksi pada setiap
tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sebagai pengawasan yang dapat menyatakan lanjut
atau tidaknya pekerjaan konstruksi ke tahap
@@ -3463,19 +3480,24 @@ berikutnya.
(4) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. pekerjaan struktur bawah;
-106
b. pekerjaan basemen jika ada;
+89
c. pekerjaan struktur atas; dan
d. pengujian
(5) Dalam melaksanakan inspeksi sebagaimana
-dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Pusat
-menugaskan Penilik.
+dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Pusat atau
+Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
+menugaskan Penilik berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat.
(6) Dalam hal proses pelaksanaan diperlukan adanya
perubahan dan/atau penyesuaian terhadap rencana
teknis, penyedia jasa perencana wajib melaporkan
-kepada Pemerintah Pusat untuk mendapatkan
+kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
+sesuai kewenanganya untuk mendapatkan
persetujuan sebelum pelaksanaan perubahan dapat
-dilanjutkan.
+dilanjutkan, berdasarkan norma, standar, prosedur,
+dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
35. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
@@ -3484,11 +3506,15 @@ dan/atau pengguna bangunan gedung setelah
bangunan gedung tersebut mendapatkan sertifikat laik
fungsi.
(2) Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan
-surat pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh
+(1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
+Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan surat
+pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh
Penyedia Jasa Pengawasan atau Manajemen Konstruksi
-kepada Pemerintah Pusat melalui sistem elektronik
-yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.
+kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
+sesuai kewenangannya melalui sistem elektronik yang
+diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, berdasarkan
+norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
+oleh Pemerintah Pusat.
(3) Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah inspeksi
tahapan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal
@@ -3497,9 +3523,9 @@ gedung memenuhi standar teknis bangunan gedung.
(4) Penerbitan sertifikat laik fungsi bangunan gedung
dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat bukti
kepemilikan bangunan gedung.
-107
(5) Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara
-berkala pada bangunan gedung harus dilakukan untuk
+berkala pada bangunan gedung harus dilakukan untuk
+90
memastikan bangunan gedung tetap memenuhi
persyaratan laik fungsi.
(6) Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik
@@ -3526,9 +3552,10 @@ tercantum dalam persetujuan saat dilakukan
inspeksi bangunan gedung.
(2) Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan
-oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil pengkajian
-teknis.
-108
+oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan hasil pengkajian
+teknis dan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal,
dilakukan oleh pengkaji teknis.
@@ -3536,7 +3563,11 @@ dilakukan oleh pengkaji teknis.
dampak luas terhadap keselamatan umum dan
lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana
teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh
-Pemerintah Pusat.
+Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+91
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembongkaran bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
@@ -3560,8 +3591,7 @@ perundang-undangan di bidang Cagar Budaya;
e. mengubah fungsi bangunan setelah mendapat
persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
f. mendapatkan ganti rugi sesuai dengan ketentuan
-peraturan perundang-undangan dalam hal
-109
+peraturan perundang-undangan dalam hal
bangunan gedung dibongkar oleh Pemerintah Pusat
bukan karena kesalahan pemilik bangunan gedung.
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
@@ -3576,7 +3606,8 @@ d. mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat atas
perubahan rencana teknis bangunan gedung yang
terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan; dan
e. menggunakan penyedia jasa perencana, pelaksana,
-pengawas, dan pengkajian teknis yang memenuhi
+pengawas, dan pengkajian teknis yang memenuhi
+92
syarat sesuai ketentuan peraturan perundangundangan untuk melaksanakan pekerjaan terkait
bangunan gedung.
39. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -3594,7 +3625,6 @@ bangunan gedung; dan/atau
d. mendapatkan keterangan mengenai bangunan
gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi
dan dilestarikan.
-110
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai
kewajiban:
@@ -3607,7 +3637,7 @@ pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung;
d. melaksanakan pemeriksaan secara berkala atas
kelaikan fungsi bangunan gedung;
e. memperbaiki bangunan gedung yang telah
-ditetapkan tidak laik fungsi;
+ditetapkan tidak laik fungsi; dan
f. membongkar bangunan gedung dalam hal:
1. telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak
dapat diperbaiki;
@@ -3616,8 +3646,9 @@ pemanfaatannya;
3. tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung;
atau
4. ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan
-dengan rencana teknis bangunan gedung yang
-tercantum dalam persetujun saat dilakukan
+dengan rencana teknis bangunan gedung yang
+93
+tercantum dalam persetujuan saat dilakukan
inspeksi bangunan gedung.
(3) Kewajiban membongkar bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
@@ -3626,11 +3657,13 @@ dan ketertiban umum.
40. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
-(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan pembinaan
-bangunan gedung secara nasional untuk meningkatkan
-111
-pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan
-bangunan gedung.
+(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat, menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung
+secara nasional untuk meningkatkan pemenuhan
+persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan
+gedung.
(2) Sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan
@@ -3646,51 +3679,59 @@ profesi ahli, penilik bangunan, pengkaji teknis, dan/atau
pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna
yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi,
dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan
-bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini dikenai sanksi administratif.
+bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini dikenai sanksi administratif.
42. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
-Ketentuan mengenai jenis dan tata cara pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 44 dapat berupa:
+a. peringatan tertulis,
+94
+b. pembatasan kegiatan pembangunan,
+c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
+pelaksanaan pembangunan,
+d. penghentian sementara atau tetap pada
+pemanfaatan bangunan gedung;
+e. pembekuan persetujuan bangunan gedung;
+f. pencabutan persetujuan bangunan gedung;
+g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
+h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
+atau
+i. perintah pembongkaran bangunan gedung.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
43. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
(1) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
-yang tidak memenuhi ketentuan dalam UndangUndang ini, dikenai sanksi administratif berupa denda
-paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai
-bangunan.
-112
-(2) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
-kerusakan barang, pelaku selain dikenai sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
-dikenai sanksi penggantian kerugian atas harta benda
-atau kerusakan barang.
-(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-(4) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
-yang tidak memenuhi ketentuan dalam UndangUndang ini, diancam dengan pidana penjara paling
-lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
-15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan
-gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi
-orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.
-(5) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
-yang tidak memenuhi ketentuan dalam UndangUndang ini, diancam dengan pidana penjara paling
-lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
-20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan
-gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya
-nyawa orang lain.
-(6) Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana
-dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) hakim
-memperhatikan pertimbangan dari tim ahli bangunan
-gedung.
-(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
-dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-113
+yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang
+ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
+tahun atau denda paling banyak 10% (sepuluh per
+seratus) dari nilai bangunan, jika karenanya
+mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.
+(2) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
+yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang
+ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 4
+(empat) tahun atau denda paling banyak 15% (lima belas
+per seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya
+mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang
+mengakibatkan cacat seumur hidup.
+(3) Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung
+yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang
+ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
+tahun dan denda paling banyak 20% (dua puluh per
+seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya
+mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
+(4) Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) hakim
+memperhatikan pertimbangan dari profesi ahli.
+95
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
+dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
44. Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 47A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47A
@@ -3702,14 +3743,14 @@ sederhana yang umum digunakan masyarakat.
(3) Prototipe bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan paling lama 6 bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
-Pasal 26
+Pasal 25
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 6 Tahun 2017
tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6108) diubah:
-1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah dan angka 12 dihapus
-serta disisipkan 1 (satu) angka baru yakni angka 14
-sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
+1. Ketentuan Pasal 1 angka 3 diubah, serta disisipkan 1 (satu)
+angka yakni angka 14 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
+berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Arsitektur adalah wujud hasil penerapan ilmu
@@ -3721,10 +3762,10 @@ estetika serta mencakup faktor keselamatan, keamanan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
2. Praktik Arsitek adalah penyelenggaraan kegiatan untuk
menghasilkan karya Arsitektur yang meliputi
-perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau
-114
+perencanaan, perancangan, pengawasan, dan/atau
pengkajian untuk bangunan gedung dan lingkungannya,
serta yang terkait dengan kawasan dan kota.
+96
3. Arsitek adalah seseorang yang telah memenuhi syarat
dan ditetapkan oleh Dewan untuk melakukan Praktik
Arsitek.
@@ -3750,12 +3791,14 @@ jasa Arsitek berdasarkan perjanjian kerja.
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden
dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-12. Dihapus.
+12. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
+penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
+pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
+kewenangan daerah otonom.
13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
14. Dewan Arsitek Indonesia yang selanjutnya disebut
-Dewan adalah dewan yang dibentuk oleh Organisasi
-115
+Dewan adalah dewan yang dibentuk oleh Organisasi
Profesi dengan tugas dan fungsi membantu Pemerintah
Pusat dalam penyelenggaraan keprofesian Arsitek.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -3763,6 +3806,7 @@ berikut:
Pasal 5
(1) Pemberian layanan Praktik Arsitek wajib memenuhi
standar kinerja Arsitek.
+97
(2) Standar kinerja Arsitek sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) merupakan tolok ukur yang menjamin efisiensi,
efektivitas, dan syarat mutu yang dipergunakan sebagai
@@ -3788,7 +3832,6 @@ Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan
pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan
Pasal 12 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-116
6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
@@ -3798,7 +3841,9 @@ gedung wajib memiliki Lisensi.
belum memiliki Lisensi, Arsitek wajib bekerja sama
dengan Arsitek yang memiliki Lisensi.
(3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
+diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi sesuai dengan
+NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+98
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan
Lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -3820,8 +3865,7 @@ Arsitektur tanpa dipungut biaya.
keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alih keahlian
-dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
-117
+dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -3838,6 +3882,7 @@ e. memberikan masukan kepada pendidikan tinggi
Arsitektur tentang perkembangan Praktik Arsitek;
f. memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat
mengenai lingkup layanan Praktik Arsitek;
+99
g. mengembangkan Arsitektur dan melestarikan nilai
budaya Indonesia; dan
h. melindungi Pengguna Jasa Arsitek.
@@ -3855,7 +3900,6 @@ b. Pengguna Jasa Arsitek; dan
c. perguruan tinggi.
(3) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikukuhkan oleh Pemerintah Pusat.
-118
10. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
@@ -3876,6 +3920,7 @@ Dewan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+100
11. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 37 dihapus.
13. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -3883,23 +3928,29 @@ berikut:
Pasal 38
(1) Setiap Arsitek yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 18 ayat
-(2), Pasal 19, dan Pasal 20 dikenai sanksi administratif.
+(2), Pasal 19 atau Pasal 20 dikenai sanksi administratif
+berupa:
+a. peringatan tertulis;
+b. penghentian sementara Praktik Arsitek;
+c. pembekuan Surat Tanda Registrasi Arsitek;
+dan/atau
+d. pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
oleh Organisasi Profesi Arsitek.
14. Ketentuan Pasal 39 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 41 dihapus.
-119
Bagian Keempat
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan
Dan Persyaratan Investasi
Paragraf 1
Umum
-Pasal 27
+Pasal 26
Perizinan Berusaha terdiri atas sektor:
a. kelautan dan perikanan,
b. pertanian;
c. kehutanan;
+101
d. energi dan sumber daya mineral;
e. ketenaganukliran;
f. perindustrian;
@@ -3915,10 +3966,9 @@ n. pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
o. pertahanan dan keamanan.
Paragraf 2
Kelautan dan Perikanan
-Pasal 28
+Pasal 27
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
-Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
-120
+Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor kelautan dan
perikanan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
@@ -3936,7 +3986,8 @@ Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan
1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
-dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
+dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
+102
pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
@@ -3951,8 +4002,7 @@ ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
-mengolah, dan/atau mengawetkannya.
-121
+mengolah, dan/atau mengawetkannya.
6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
@@ -3982,10 +4032,10 @@ ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi
perikanan.
10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan.
+103
11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
-kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan
-122
+kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan
kapal penangkap Ikan maupun yang tidak menggunakan
kapal penangkap Ikan.
12. Pembudi Daya Ikan adalah orang yang mata
@@ -4018,14 +4068,14 @@ dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan
kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman
Indonesia.
23. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas
-daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
-123
+daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan
sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
-perikanan.
+perikanan.
+104
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perikanan.
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
@@ -4052,7 +4102,6 @@ Indonesia;
f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu
penangkapan ikan;
-124
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan
ikan;
i. persyaratan atau standar prosedur operasional
@@ -4062,18 +4111,20 @@ k. sistem pemantauan kapal perikanan;
l. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi daya;
-n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
+n. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
+o. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
daya ikan serta lingkungannya;
-o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan
+105
+p. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan
serta lingkungannya;
-p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh
+q. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh
ditangkap;
-q. kawasan konservasi perairan;
-r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
-s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
+r. kawasan konservasi perairan;
+s. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
+t. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah
Negara Republik Indonesia; dan
-t. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
+u. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
@@ -4086,7 +4137,6 @@ d. persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
-125
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi daya;
h. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
@@ -4103,36 +4153,53 @@ m. jenis ikan dan genetik ikan yang dilindungi.
pemantauan kapal perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf e, tidak berlaku bagi nelayan kecil
dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
+106
(4) Pemerintah Pusat menetapkan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
-3. Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai
+3. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal
+baru yakni Pasal 20A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 20A
+(1) Setiap orang yang melakukan penanganan dan
+pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak
+menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan,
+sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenai
+sanksi administratif.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan
+tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+4. Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25A
(1) Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis
perikanan harus memenuhi standar mutu hasil
perikanan.
-(2) Pemerintah membina dan memfasilitasi pengembangan
-usaha perikanan agar memenuhi standar mutu hasil
-perikanan.
+(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
+kewenangannya membina dan memfasilitasi
+pengembangan usaha perikanan agar memenuhi
+standar mutu hasil perikanan berdasarkan norma,
+standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat .
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil
perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
+5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
-126
(1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
(2) Jenis usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari usaha:
+107
a. penangkapan Ikan;
b. pembudidayaan Ikan;
c. pengangkutan Ikan;
d. pengolahan Ikan; dan
e. pemasaran Ikan.
-5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
+6. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
@@ -4153,15 +4220,39 @@ mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing di ZEEI wajib membawa dokumen Perizinan
Berusaha.
(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang
-melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi
-127
+melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi
negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(5) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), tidak berlaku bagi nelayan kecil.
-6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
+7. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 27A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 27A
+(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
+kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
+penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
+Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang
+108
+tidak memenuhi persyaratan Perizinan Berusaha
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dikenai
+sanksi administratif.
+(2) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
+ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan
+perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak
+membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi
+administratif.
+(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
+ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa
+dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif.
+(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata
+cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
@@ -4183,18 +4274,18 @@ dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi
daya-ikan kecil.
-7. Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
+9. Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+109
Pasal 28A
Setiap orang dilarang:
a. memalsukan dokumen Perizinan Berusaha;
-128
b. menggunakan Perizinan Berusaha palsu;
c. menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau
orang lain; dan/atau
d. menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan
oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri.
-8. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
+10. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
(1) Pemberian Perizinan Berusaha kepada orang dan/atau
@@ -4216,44 +4307,55 @@ badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian
perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya
antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah
negara bendera kapal.
-9. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
+11. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
(1) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk
-menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
-129
+menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk
-mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan
+mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan
+110
Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
-10. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
+12. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
-11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
+13. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
(1) Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial harus
-mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
-(2) Jenis penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
-ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
-kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam
-rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau
-kegiatan ilmiah lainnya, kesenangan dan wisata.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan
+mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat dan
+Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
+berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+(2) Kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
+ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
+oleh setiap Orang yang meliputi kegiatan dalam rangka
+pendidikan, penyuluhan, penelitian atau kegiatan
+ilmiah lainnya, serta kesenangan dan wisata.
+(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+dikecualikan bagi seseorang yang menangkap ikan
+dan/atau membudidayakan ikan untuk kebutuhan
+sehari-hari.
+(4) Persetujuan bagi kegiatan penelitian atau kegiatan
+ilmiah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
+dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
+perundang-undangan.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan
untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-12. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
+14. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
-130
+111
(1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau
memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu
mendapat persetujuan Pemerintah Pusat.
@@ -4261,7 +4363,15 @@ mendapat persetujuan Pemerintah Pusat.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan,
baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat
pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat.
-13. Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai
+(3) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau
+memodifikasi kapal perikanan yang tidak memiliki
+persetujuan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
+(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
+(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+15. Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35A
(1) Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
@@ -4269,29 +4379,35 @@ penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia wajib menggunakan
nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan
Indonesia.
-(2) Kapal perikanan berbendera asing yang melakukan
-penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan anak
-buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling
-sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak
-buah kapal.
-(3) Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak
-buah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
-ayat (2) dikenai sanksi administratif.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(2) Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak
+buah kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+dikenakan sanksi administratif berupa peringatan,
+pembekuan perizinan berusaha, atau pencabutan
+Perizinan Berusaha.
+(3) Ketentuan mengenai kriteria, jenis, dan tata cara
+pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+16. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang
dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan
terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.
-131
(2) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diberikan Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
-15. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
+112
+(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di
+wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
+tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal
+perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dikenai sanksi administratif.
+(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+17. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang
@@ -4311,7 +4427,7 @@ penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka selama berada di luar daerah
penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
-16. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
+18. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun,
@@ -4321,8 +4437,8 @@ perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan
ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-132
-17. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
+113
+19. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan dan melakukan
@@ -4352,12 +4468,16 @@ yang ditunjuk.
kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan
yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di
pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan
-lainnya yang ditunjuk dikenai sanksi administratif.
-133
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
-diatur dalam Peraturan Pemerintah.
-18. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 berbunyi
+lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada
+ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan,
+pembekuan perizinan berusaha, atau pencabutan
+perizinan berusaha.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan
+tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
+dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+114
+20. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 42
(1) Dalam rangka keselamatan operasional kapal
@@ -4386,7 +4506,6 @@ k. melaksanakan bantuan pencarian dan
penyelamatan;
l. memimpin penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
-134
m. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan
maritim;
n. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan
@@ -4396,7 +4515,8 @@ dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.
(3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan
penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari
-pelabuhan perikanan wajib memiliki persetujuan
+pelabuhan perikanan wajib memiliki persetujuan
+115
berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di
pelabuhan perikanan.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana
@@ -4409,18 +4529,17 @@ setempat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di
pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
+21. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan
wajib memenuhi standar laik operasi kapal perikanan dari
pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.
-20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
+22. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1) Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh syahbandar
-135
+Pasal 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh syahbandar
setelah kapal perikanan memenuhi standar laik
operasi.
(2) Pemenuhan standar laik operasi sebagaimana
@@ -4431,31 +4550,33 @@ dan kelayakan teknis.
administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
+23. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan
di luar pelabuhan perikanan, Persetujuan berlayar
-diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi
+diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi
+116
standar laik operasi dari pengawas perikanan yang
ditugaskan pada pelabuhan setempat.
-22. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
+24. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Setiap orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha
untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenakan
pungutan perikanan.
-23. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai
+25. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan
ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan
persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan
mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi
-administratif.
-136
-24. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
+dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang menimbulkan
+korban terhadap kesehatan manusia, dipidana dengan
+pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
+banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
+26. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
@@ -4465,71 +4586,38 @@ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
-25. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
+27. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
-kapal penangkap ikan berbendera Indonesia
-melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
-perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut
-lepas, yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
+kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
+penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
+Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang
+tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan
+117
+pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
+paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan
-penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memenuhi
-Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 27 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
-miliar rupiah).
-(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
-ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan
-perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak
-membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana
-137
-dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi
-administratif.
-(4) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap
-ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa
-dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif.
-(5) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (3)dipidana dengan
-pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
-(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-26. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
+penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki
+Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
+27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama
+6 (enam) tahun atau denda paling banyak
+Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
+28. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94
-(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
-kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan
-perikanan Negara Republik Indonesia yang melakukan
-pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang
-tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling banyak
-Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
-tahun.
-(3) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan
-kapal pengangkut ikan berbendera asing yang
-digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di
-wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
-Indonesia yang tidak memenuhi perizinan berusaha
-138
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dikenai
-dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
-tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00
-(lima belas miliar rupiah).
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-27. Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai
+Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
+pengangkut ikan yang berbendera Indonesia atau
+berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan Republik
+Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau
+kegiatan yang terkait yang tidak memiliki Perizinan
+Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
+dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
+(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
+(satu miliar lima ratus juta rupiah).
+29. Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 94A
Setiap orang yang memalsukan dokumen Perizinan
@@ -4541,42 +4629,11 @@ sendiri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
-28. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 95
-(1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau
-memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat
-persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 35 ayat (1) dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
-ratus juta rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
-tahun.
-139
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-29. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 96
-(1) Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di
-wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
-tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal
-perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 36 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus
-juta rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
-tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-30. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
+30. Ketentuan Pasal 95 dihapus.
+31. Ketentuan Pasal 96 dihapus.
+32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+118
Pasal 97
(1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan
@@ -4587,8 +4644,7 @@ ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan
-berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan
-140
+berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan
Berusaha dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan
tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa
alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud
@@ -4603,7 +4659,7 @@ pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3),
dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-31. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
+33. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan
@@ -4611,39 +4667,20 @@ berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
-32. Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 100B
-(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (5), Pasal 16
-ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1),
-Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 38, Pasal 42
-ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh
-nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-141
-banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
-rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
-tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-33. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
+34. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88,
-Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 ayat (1) dan
-ayat (2), dan Pasal 94 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh
+Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93 atau Pasal 94 dilakukan oleh
korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan
-terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3
-(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
+terhadap pengurusnya dan terhadap korporasi dipidana
+119
+denda dengan tambahan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari
+pidana denda yang dijatuhkan.
Paragraf 3
Pertanian
-Pasal 29
+Pasal 28
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor pertanian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus,
@@ -4653,7 +4690,6 @@ a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5613);
-142
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan Lembaran
@@ -4678,7 +4714,8 @@ diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5619).
-Pasal 30
+120
+Pasal 29
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik
@@ -4686,14 +4723,52 @@ Indonesia Nomor 5613) diubah:
1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
-143
(1) Pemerintah Pusat menetapkan batasan luas maksimum
dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha
Perkebunan.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan
+(2) Penetapan batasan luas sebagaimana dimaksud pada
+ayat (1) harus mempertimbangkan:
+a. jenis tanaman;
+b. ketersediaan lahan yang sesuai secara agroklimat;
+c. modal;
+d. kapasitas pabrik;
+e. tingkat kepadatan penduduk;
+f. pola pengembangan usaha;
+g. kondisi geografis;
+h. perkembangan teknologi; dan/atau
+i. pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi ruang
+sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang tata ruang.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan batasan
luas diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-2. Ketentuan Pasal 15 dihapus.
-3. Ketentuan Pasal 16 dihapus.
+2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 15
+Perusahaan perkebunan yang melakukan kegiatan
+kemitraan atau inti plasma dilarang memindahkan hak atas
+tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya
+satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 14.
+3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+121
+Pasal 16
+(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan
+Perkebunan:
+a. paling lambat 2 (dua) tahun setelah pemberian
+status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan
+wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling
+sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas hak
+atas tanah; dan
+b. paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian
+status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan
+wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah
+yang secara teknis dapat ditanami Tanaman
+Perkebunan.
+(2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai
+dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
+bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan
+diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan
+peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
@@ -4712,15 +4787,16 @@ Pasal 18
(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi
administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
-pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+(2) Ketentuan mengenai jenis, kriteria, besaran dan tata
+cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+122
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat menetapkan jenis Benih Tanaman
-Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau
-144
+Perkebunan yang pengeluaran dari dan/atau
pemasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia memerlukan persetujuan.
(2) Pengeluaran Benih dari dan/atau pemasukannya ke
@@ -4754,7 +4830,7 @@ Pasal 35
(1) Dalam rangka pengendalian organisme pengganggu
tumbuhan, setiap Pelaku Usaha Perkebunan
berkewajiban memenuhi persyaratan minimum sarana
-145
+123
dan prasarana pengendalian organisme pengganggu
Tanaman Perkebunan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan minimum sarana dan
@@ -4766,7 +4842,12 @@ Pasal 39
Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha
Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal.
-11. Ketentuan Pasal 40 dihapus.
+11. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 40
+Pengalihan kepemilikan Perusahaan Perkebunan kepada
+penanam modal asing dapat dilakukan setelah memperoleh
+persetujuan Pemerintah Pusat.
12. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
@@ -4786,7 +4867,7 @@ Pasal 43
Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat
didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat
yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
-146
+124
setelah memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
14. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
@@ -4798,84 +4879,125 @@ daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala
tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-16. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
+(2) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha
+budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala
+tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
+dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki
+Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dikenai sanksi administratif berupa:
+a. penghentian sementara kegiatan;
+b. pengenaan denda; dan/atau
+c. paksaan Pemerintah Pusat.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
+sebagaimana pada ayat (1) dan kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+16. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 48
+(1) Perizinan Berusaha Perkebunan sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) diberikan oleh:
+a. gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota;
+dan
+b. bupati/wali kota untuk wilayah dalam suatu
+kabupaten/kota,
+berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+125
+(2) Dalam hal lahan Usaha Perkebunan berada pada
+wilayah lintas provinsi, izin diberikan oleh Pemerintah
+Pusat.
+(3) Perusahaan Perkebunan yang telah mendapat Perizinan
+Berusaha, Usaha Perkebunan wajib menyampaikan
+laporan perkembangan usahanya secara berkala
+sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada
+pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau
+ayat (2).
+(4) Laporan perkembangan usaha secara berkala
+sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan
+kepada Pemerintah Pusat.
17. Ketentuan Pasal 49 dihapus.
18. Ketentuan Pasal 50 dihapus.
19. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 58
-(1) Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan
-usaha perkebunan dan kegiatan usaha perkebunan
-budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun
-masyarakat.
+(1) Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan
+Berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian
+lahannya berasal dari:
+a. area penggunaan lain yang berada di luar hak guna
+usaha; dan/atau
+b. areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan,
+wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat
+sekitar, seluas 20% (dua puluh persen) dari luas lahan
+tersebut.
(2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan
lainnya atau bentuk pendanaan lain yang disepakati
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
-147
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak hak guna usaha diberikan.
(4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan
-kepada Pemerintah Pusat.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi
-pembangunan kebun masyarakat sebagaimana
-dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-20. Ketentuan Pasal 59 dihapus.
-21. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan
+126
+kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
+sesuai dengan kewenangannya.
+20. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 60
(1) Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi
administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
-dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) berupa:
+a. denda;
+b. pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha
+Perkebunan; dan/ atau
+c. pencabutan Perizinan Berusaha Perkebunan.
+(3) Kentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
-22. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 64
-Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dikenai
-sanksi administratif.
-23. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
+21. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan wajib memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban memelihara
-kelestarian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-148
-24. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
-25. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
+kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+22. Ketentuan Pasal 68 dihapus.
+23. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
dikenai sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
-dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
+dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
+127
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
-26. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
+24. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1) Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang
berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam
jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya
beroperasi.
-(2) Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil
+(2) Kebun yang dibangun sebagaimana dimaksud pada
+ayat (1) wajib terintegrasi dengan unit pengolahan hasil
+perkebunan setelah unit pengolahan tersebut
+beroperasi.
+(3) Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil
Perkebunan tertentu dan jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-27. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
+25. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 75
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar
@@ -4884,10 +5006,8 @@ ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah
-28. Ketentuan Pasal 86 dihapus.
-149
-29. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pemerintah.
+26. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
(1) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh
@@ -4898,7 +5018,8 @@ dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah.
(3) Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh
-Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari
+Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari
+128
penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana
lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain
yang sah.
@@ -4919,24 +5040,28 @@ menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan
pengelola dana perkebunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-150
-30. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
+27. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan
melalui penanaman modal.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundang-undangan di bidang penanaman modal.
-31. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
+pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
+peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
+modal, dengan memperhatikan kepentingan pekebun.
+28. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1) Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh
-Pemerintah Pusat.
+Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. perencanaan;
-b. pelaksanaan Usaha Perkebunan;
+b. pelaksanaan Usaha Perkebunan;
+129
c. pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;
d. penelitian dan pengembangan;
e. pengembangan sumber daya manusia;
@@ -4945,21 +5070,20 @@ g. pemberian rekomendasi penanaman modal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-32. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
+29. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
(1) Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik
negara, swasta dan/atau Pekebun dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
(2) Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik
-negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui
-151
+negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui
penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau
sewaktu-waktu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan
penilaian Usaha Perkebunan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-33. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
+30. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
@@ -4975,74 +5099,14 @@ Perkebunan.
merupakan informasi publik yang diumumkan dan
dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
+130
(4) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan
memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di
lapangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-34. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 102
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya dibidang perkebunan diberi
-152
-wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
-Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
-penyidikan tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang
-dicurigai adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan
-barang yang digunakan untuk melakukan tindak
-pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-153
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
-35. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
+31. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 103
Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait
@@ -5051,27 +5115,9 @@ Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
-154
-36. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 105
-(1) Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha
-budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala
-tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
-dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memenuhi
-Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
-(lima) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
-37. Ketentuan Pasal 109 dihapus.
-Pasal 31
+32. Ketentuan Pasal 105 dihapus.
+33. Ketentuan Pasal 109 dihapus.
+Pasal 30
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 241, Tambahan
@@ -5084,13 +5130,13 @@ secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
membayar biaya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Penerimaan Negara
Bukan Pajak.
-155
(2) Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh:
a. orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon
harus disertai surat kuasa khusus dengan
mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa
yang berhak;
b. ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli waris.
+131
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan hak PVT diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
@@ -5114,9 +5160,9 @@ c. wasiat;
d. perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.
(2) Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) butir a, b, dan c harus disertai dengan dokumen
-PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan itu.
-156
+(1) huruf a, huruf b, dan huruf c harus disertai dengan
+dokumen PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan
+itu.
(3) Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada
Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT
dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan
@@ -5124,6 +5170,7 @@ sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Penerimaan Negara
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengalihan hak PVT diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
+132
4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
@@ -5147,8 +5194,7 @@ hak PVT wajib membayar biaya tahunan.
permintaan pemeriksaan, petikan Daftar Umum PVT,
salinan surat PVT, salinan dokumen PVT, pencatatan
pengalihan hak PVT, pencatatan surat perjanjian
-lisensi, pencatatan Lisensi Wajib, serta lain-lainnya
-157
+lisensi, pencatatan Lisensi Wajib, serta lain-lainnya
yang ditentukan berdasarkan undang-undang ini wajib
membayar biaya.
(3) Ketentuan mengenai besar biaya, persyaratan dan tata
@@ -5156,7 +5202,7 @@ cara pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
-Pasal 32
+Pasal 31
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 241,
@@ -5164,6 +5210,7 @@ Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4043)
diubah:
1. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
+133
Pasal 19
(1) Setiap Orang dilarang mengalihfungsikan Lahan yang
sudah ditetapkan sebagai Lahan budi daya Pertanian.
@@ -5172,16 +5219,44 @@ strategis nasional, Lahan budi daya Pertanian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
-(3) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk
+(3) Pengalihfungsian Lahan budi daya Pertanian untuk
+kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat
+(2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
+a. dilakukan kajian strategis;
+b. disusun rencana alih fungsi lahan;
+c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik;
+dan/atau
+d. disediakan Lahan pengganti terhadap Lahan budi
+daya Pertanian.
+(4) Alih fungsi Lahan budi daya Pertanian untuk
kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dilaksanakan pada Lahan Pertanian yang telah
memiliki jaringan pengairan lengkap wajib menjaga
fungsi jaringan pengairan lengkap.
-2. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengalihfungsian
+Lahan budi daya Pertanian diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+2. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat
+yang tidak melakukan musyawarah dengan
+masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk
+memperoleh persetujuan, dikenakan sanksi
+administratif berupa:
+a. penghentian sementara kegiatan;
+b. pengenaan denda administratif;
+c. paksaan Pemerintah;
+d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau
+e. pencabutan perizinan berusaha.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+134
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+3. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
-158
(1) Pengadaan Benih unggul melalui pemasukan dari luar
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dilakukan setelah mendapat Perizinan Berusaha dari
@@ -5198,8 +5273,8 @@ pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
-dnaniatur dengan Peraturan Pemerintah.
-3. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+4. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit
@@ -5207,16 +5282,16 @@ Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia
oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam
negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.
-4. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
+5. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1) Pemasukan Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan,
Bibit Hewan, dan hewan dari luar negeri dapat
dilakukan untuk:
-a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
-159
+a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
-dan/atau
+dan/atau
+135
c. memenuhi keperluan di dalam negeri.
(2) Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan.
@@ -5226,7 +5301,7 @@ Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, harus
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
-5. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai
+6. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 86
(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
@@ -5240,25 +5315,27 @@ ulayat masyarakat hukum adat.
(3) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan
antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha.
-6. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
+7. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
(1) Sistem informasi Pertanian mencakup pengumpulan,
pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian,
serta penyebaran data Sistem Budi Daya Pertanian
-Berkelanjutan.
-160
-(2) Pemerintah Pusat berkewajiban membangun,
+Berkelanjutan.
+(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berkewajiban membangun,
menyusun, dan mengembangkan sistem informasi
Pertanian yang terintegrasi.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit digunakan untuk keperluan:
a. perencanaan
-b. pemantauan dan evaluasi;
+b. pemantauan dan evaluasi;
+136
c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk
Pertanian; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
-(4) Kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
+(4) Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
+sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan oleh pusat data dan
informasi.
(5) Pusat data dan informasi sebagaimana dimaksud pada
@@ -5270,105 +5347,39 @@ masyarakat.
(5) dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh Pelaku
Usaha dan masyarakat.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-7. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 107
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-Lingkungan Instansi Pemerintah yang lingkup tugas
-dan tanggungjawabnya dibidang sistem budi daya
-pertanian berkelanjutan diberi wewenang khusus
-sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
-dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
-Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana.
-161
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-162
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
+pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
+dengan Peraturan Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 108
(1) Sanksi administratif dikenakan kepada:
a. Setiap Orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3),
-Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) dan
+Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) atau
ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 7l ayat (3), Pasal 76
-ayat (3), dan Pasal 79;
+ayat (3), atau Pasal 79;
b. Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat
-(1), ayat (2) dan ayat (3); dan
+Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (1),
+ayat (2) atau ayat (3); atau
c. Produsen dan/atau distributor yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
ayat (1).
-163
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
-pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-9. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 111
-(1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat
-yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat
-hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh
-persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
-dikenakan sanksi administratif berupa denda paling
-banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
-(tujuh) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 33
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dapat berupa:
+a. teguran tertulis;
+b. denda administratif;
+c. penghentian sementara kegiatan usaha;
+d. penarikan produk dari peredaran;
+137
+e. pencabutan izin; dan/atau
+f. penutupan usaha.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis,
+besaran denda dan tata cara pengenaan sanks
+administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
+diatur dalam Peraturan Pemerintah.
+9. Ketentuan Pasal 111 dihapus.
+Pasal 32
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131,
@@ -5377,9 +5388,10 @@ diubah:
1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
-(1) Pemerintah Pusat melakukan upaya peningkatan
-produksi pertanian dalam negeri.
-164
+(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
+kewenangannya berkewajiban mengutamakan dan
+meningkatkan produksi Pertanian dalam negeri untuk
+memenuhi kebutuhan pangan nasional.
(2) Peningkatan produksi pertanian dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
strategi perlindungan petani sebagaimana dimaksud
@@ -5388,13 +5400,15 @@ dalam Pasal 7 ayat (2).
berikut:
Pasal 30
(1) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan
-pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri
-dan melalui impor.
-(2) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan
+pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri .
+(2) Impor komoditas dilakukan sesuai instrumen
+perdagangan berdasarkan peraturan perundangundangan
+(3) Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan
pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+138
3. Ketentuan Pasal 101 dihapus.
-Pasal 34
+Pasal 33
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun
2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
@@ -5402,33 +5416,73 @@ Indonesia Nomor 5170) diubah:
1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
-(1) Pelaku Usaha di bidang Hortikultura dapat
-memanfaatkan sumber daya manusia dalam negeri dan
-luar negeri.
+(1) Pelaku usaha wajib mengutamakan pemanfaatan
+sumber daya manusia dalam negeri.
(2) Pemanfaatan Sumber daya manusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
-165
-(1) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 32 berasal dari dalam negeri dan/atau luar
+(1) Usaha hortikultura dilaksanakan dengan
+mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam
negeri.
-(2) Sarana hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) yang diedarkan, harus memenuhi Perizinan
-Berusaha dari Pemerintah Pusat.
-(3) Dalam hal sarana hortikultura merupakan atau
-mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi
-ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
-peredarannya wajib mengikuti ketentuan peraturan
-perundang-undangan di bidang keamanan hayati.
+(2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak
+mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan
+sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri
+dengan memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
+Pusat.
+(3) Sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus:
+a. lebih efisien;
+b. ramah lingkungan; dan
+c. diutamakan yang mengandung komponen hasil
+produksi dalam negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
terkait sarana hortikultura diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-3. Ketentuan Pasal 35 dihapus.
-4. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
-5. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
+3. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+139
+(1) Sarana hortikultura yang diedarkan wajib memenuhi
+standar mutu dan Perizinan Berusaha.
+(2) Dalam hal sarana hortikultura merupakan atau
+mengandung hasil rekayasa genetik, selain memenuhi
+ketentuan ayat (1), peredarannya wajib mengikuti
+ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
+keamanan hayati.
+(3) Apabila standar mutu sebagaimana dimaksud pada
+ayat (1) belum ditetapkan, Pemerintah Pusat
+menetapkan persyaratan teknis minimal.
+(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
+ayat (3) dikecualikan untuk sarana hortikultura
+produksi lokal yang diedarkan secara terbatas dalam
+satu kelompok.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji mutu
+dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+4. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal
+baru yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 35A
+(1) Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura
+yang tidak memenuhi standar mutu, tidak memenuhi
+persyaratan teknis minimal, dan/atau tidak terdaftar
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dikenai sanksi
+administratif.
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dapat berupa:
+a. penghentian kegiatan usahanya;
+b. penarikan produk yang dipasarkan;
+c. denda administratif, paksaan pemerintah;
+dan/atau
+d. pencabutan perizinan Berusaha.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administrtatif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+5. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
+140
+6. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1) Unit usaha budi daya hortikultura mikro dan kecil
@@ -5436,18 +5490,17 @@ wajib didata oleh Pemerintah.
(2) Unit usaha budi daya hortikultura menengah dan unit
usaha budi daya hortikultura besar harus memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
-6. Ketentuan Pasal 51 dihapus.
-7. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
+7. Ketentuan Pasal 51 dihapus.
+8. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
-Pemerintah Pusat.
-166
+Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-8. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
+9. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1) Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura
@@ -5456,14 +5509,18 @@ teknis minimal.
(2) Pelaku usaha dalam memproduksi produk hortikultura
wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan
produk hortikultura.
-(3) Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi
-pengembangan usaha hortikultura untuk memenuhi
-standar mutu dan keamanan pangan produk.
+(3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat, membina dan memfasilitasi pengembangan
+usaha hortikultura untuk memenuhi standar mutu dan
+keamanan pangan produk.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan
keamanan pangan produk hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-9. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
+141
+10. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1) Usaha hortikultura dapat dilakukan dengan pola
@@ -5476,22 +5533,21 @@ dilaksanakan dengan pola:
a. inti-plasma;
b. subkontrak;
c. waralaba;
-d. perdagangan umum;
-167
+d. perdagangan umum;
e. distribusi dan keagenan; dan
f. bentuk kemitraan lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-10. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
+11. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
-(1) Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi Benih,
-sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran Benih
-dari dan pemasukan Benih ke dalam wilayah Negara
+(1) Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi benih,
+sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran benih
+dari dan pemasukan benih ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
(2) Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dapat dilakukan introduksi dalam bentuk Benih
+(1) dapat dilakukan introduksi dalam bentuk benih
atau materi induk yang belum ada di wilayah Negara
Republik Indonesia.
(3) Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku
@@ -5502,22 +5558,22 @@ penerapan sertifikasi.
(4) Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang
bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu
Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
-dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau
+dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau
+142
kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk
dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu)
kelompok.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi Benih,
-sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran dan
-pemasukan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi benih,
+sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran dan
+pemasukan benih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
-sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan
-168
+sertifikasi kompetensi, sertifikasi badan usaha dan
jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-11. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
-12. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
+12. Ketentuan Pasal 63 dihapus.
+13. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya
@@ -5525,7 +5581,7 @@ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan
dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta
persetujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-13. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
+14. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
(1) Usaha perdagangan produk hortikultura mengatur
@@ -5539,13 +5595,13 @@ pengkelasan produk berdasarkan standar mutu dan
standar harga secara transparan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
+15. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
-(1) Impor produk hortikultura memperhatikan aspek:
+143
+(1) Impor produk hortikultura wajib memperhatikan aspek:
a. keamanan pangan produk hortikultura;
-b. persyaratan kemasan dan pelabelan;
-169
+b. persyaratan kemasan dan pelabelan;
c. standar mutu; dan
d. ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap
kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan
@@ -5558,12 +5614,13 @@ ditetapkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
-15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
+16. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 90
-Pemerintah Pusat dalam meningkatkan pemasaran
+Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
+kewenangannya dalam meningkatkan pemasaran
hortikultura memberikan informasi pasar.
-16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
+17. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1) Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk
@@ -5574,118 +5631,47 @@ dan asal impor.
perdagangan produk hortikultura sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib menyediakan fasilitas
pemasaran yang memadai.
-17. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
+18. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 100
(1) Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam
usaha hortikultura.
-170
+144
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penanaman modal.
-18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
+19. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
Pelaku usaha hortikultura menengah dan besar wajib
-memberikan kesempatan pemagangan.
-19. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai
+memberikan kesempatan pemagangan dan alih teknologi.
+20. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 122
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan
-ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) dan ayat
-(2), Pasal 56 ayat (3), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal
-73 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat
-(1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal
-108 ayat (2), atau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi
-administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
-pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-20. Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 123
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya di bidang hortikultura diberi
-wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
-Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
-tindak pidana.
-171
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-172
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
-21. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 126
-(1) Setiap orang yang mengedarkan sarana hortikultura
-yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 33 dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) mengakibatkan rusaknya fungsi lingkungan atau
-membahayakan nyawa orang, maka pelaku dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-(3) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
-paling lama 3 (tiga) tahun
-173
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pasal 33, Pasal 36
+ayat (1) atau ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat
+(1) atau ayat (2), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal 73
+ayat (2), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat (1), Pasal 88
+ayat (1), Pasal 92 ayat (2), Pasal 101, Pasal 108 ayat (2),
+atau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) berupa:
+a. peringatan secara tertulis;
+b. denda administratif;
+c. penghentian sementara kegiatan;
+d. penarikan produk dari peredaran oleh pelaku
+usaha;
+e. pencabutan izin; dan/atau
+f. penutupan usaha.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+21. Ketentuan Pasal 126 dihapus.
22. Ketentuan Pasal 131 dihapus.
-Pasal 35
+145
+Pasal 34
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
@@ -5711,8 +5697,7 @@ d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan
teknologi peternakan dan kesehatan hewan.
(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya
mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan
-memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil
-174
+memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil
diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan
penggembalaan umum.
(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk
@@ -5727,7 +5712,8 @@ umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai
kawasan penggembalaan umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
-pengelolaan kawasan penggembalaan umum
+pengelolaan kawasan penggembalaan umum
+146
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -5736,22 +5722,26 @@ Pasal 13
(1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan
Benih dan/atau Bibit.
-(2) Pemerintah berkewajiban untuk melakukan
-pengembangan usaha pembenihan dan/atau
-pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat
-untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau
-bakalan.
+(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berkewajiban untuk
+melakukan pengembangan usaha pembenihan
+dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta
+masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit,
+dan/atau bakalan.
(3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan
oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat
-membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
+dan Pemerintah Daerah membentuk unit pembenihan
+dan/atau pembibitan.
(4) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki
-sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat
-175
+sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat
keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan
tertentu.
(5) Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga
sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.
+(6) Setiap orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit
+yang tidak memenuhi kewajiban sertifikat benih
+sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
@@ -5762,8 +5752,8 @@ a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengatasi kekurangan Benih dan/ atau Bibit di
dalam negeri; dan/atau
-d. memenuhi keperluan penelitian dan
-pengembangan.
+d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.
+147
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih
dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
@@ -5778,7 +5768,6 @@ Pasal 16
Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah
terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.
-176
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang
terbaik di dalam negeri.
@@ -5804,14 +5793,14 @@ berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Setiap orang dilarang:
a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;
+148
b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan
Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang
berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
c. menggunakan pakan yang dicampur hormon
tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
-ayat (4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-177
+ayat (4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
@@ -5820,7 +5809,11 @@ peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu
untuk kepentingan khusus.
(2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan
jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu
-diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.
+diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat
+dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan
+kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerinath
+Pusat.
(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya
ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala
usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha
@@ -5831,27 +5824,31 @@ tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak
yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
-(5) Pemerintah Pusat berkewajiban untuk melindungi
-usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak
-sehat di antara pelaku usaha.
+(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berkewajiban untuk
+melindungi usaha peternakan dalam negeri dari
+persaingan tidak sehat di antara pelaku usaha.
7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
-(1) Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya
-melalui penanaman modal oleh perorangan warga
-negara Indonesia atau korporasi yang berbadan
-hukum.
+(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat, mengembangkan Usaha Budi Daya melalui
+149
+penanaman modal oleh perorangan warga negara
+Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum.
(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal.
-178
8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36B
(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
-dilakukan untuk memenuhi konsumsi masyarakat.
+dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan
+memperhatikan kepentingan peternak.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
@@ -5874,10 +5871,11 @@ persyaratan dan tata cara pemasukannya.
Ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan
berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan
-oleh Otoritas Veteriner.
+oleh Otoritas Veteriner dengan memperhatikan
+kepentingan peternak.
(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal
dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain
-179
+150
harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di
@@ -5899,21 +5897,26 @@ diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
-Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi
-berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan dengan
-penggunaan bahan baku yang memenuhi standar.
+Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
+kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, membina
+dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan
+Produk Hewan.
11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 52
(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan,
penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib
-memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
+memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
+atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
+berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan,
dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
-180
a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada
di Indonesia;
b. tidak memiliki nomor pendaftaran;
+151
c. tidak diberi label dan tanda; dan
d. tidak memenuhi standar mutu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
@@ -5922,17 +5925,14 @@ Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
-(1) Penyediaan obat hewan dilakukan untuk memenuhi
-kebutuhan obat hewan.
-(2) Penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) dapat berasal dari produksi dalam negeri atau
-dari luar negeri.
-(3) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar
+(1) Penyediaan obat hewan dapat berasal dari produksi
+dalam negeri atau dari luar negeri.
+(2) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar
negeri harus sesuai standar.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan dan
-pengeluaran dari dan ke luar negeri sebagaimana
-dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
+pengeluaran obat hewan sebagaimana dimaksud pada
+ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
@@ -5943,8 +5943,7 @@ Pusat.
(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan
dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis
-181
+(1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis
risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
@@ -5955,9 +5954,17 @@ berikut:
Pasal 60
(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk
Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa
-nomor kontrol veteriner yang diterbitkan oleh
-Pemerintah Pusat.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
+nomor kontrol veteriner dari Pemerintah Daerah
+152
+Provinsi sesuai dengan kewenanganya berdasarkan
+norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
+oleh Pemerintah Pusat.
+(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan
+pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/atau
+mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh unit
+usaha skala rumah tangga yang belum memenuhi
+persyaratan nomor kontrol veteriner.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -5978,7 +5985,6 @@ rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-182
Pasal 69
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa
laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium
@@ -5989,6 +5995,7 @@ kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
+153
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
@@ -6007,111 +6014,49 @@ peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-18. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 84
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-183
-tanggungjawabnya dibidang peternakan dan kesehatan
-hewan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik
-Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
-Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
-melakukan penyidikan tindak pidana.
-(2) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi
-kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-184
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di
-bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi
-Negara Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
-19. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
+18. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1),
-Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (2),
+Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal
-23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat
+23, Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat
(3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2)
-atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal
-185
-52 ayat (1), Pasal 54 ayat (3), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59
-ayat (2), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat
-(2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), dan Pasal 72 ayat (1)
-dikenai sanksi administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
-dan tata cara pengenaan sanksi administratif
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal
+52 ayat (1), Pasal 53 ayat (2), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59
+ayat (1), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat
+(2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), Pasal 72 ayat (1),
+atau Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
+(2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dapat berupa :
+a. peringatan secara tertulis;
+b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
+dan/atau peredaran;
+c. pencabutan Perizinan Berusaha dan penarikan
+obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk
+hewan dari peredaran;
+d. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
+154
+e. pengenaan denda.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-20. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
+19. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 88
-(1) Setiap orang yang memproduksi dan/atau
-mengedarkan alat dan mesin tanpa mengutamakan
-keselamatan dan keamanan bagi pemakai
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
-dan/atau belum diuji berdasarkan ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3)
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
-paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
-rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
-dan paling lama 11 (sebelas) bulan
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan
+alat dan mesin yang belum diuji sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan rusaknya
+fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang,
+dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
+bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling
+sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
+banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Paragraf 4
Kehutanan
-Pasal 36
-186
+Pasal 35
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor Kehutanan,
@@ -6132,7 +6077,8 @@ b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432).
-Pasal 37
+155
+Pasal 36
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
@@ -6142,7 +6088,6 @@ Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4374)diubah:
-187
1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
@@ -6164,20 +6109,15 @@ pada ayat (1) pada daerah yang strategis.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-(6) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kawasan
-hutan dengan rencana tata ruang, izin dan/atau hak
-atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud
-diatur dengan Peraturan Presiden.
-2. Penjelasan Pasal 15 dihapus.
-3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
+2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan
-untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau
-188
+untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau
guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial,
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
+156
(2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus
dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS
dan/atau pulau.
@@ -6185,7 +6125,7 @@ dan/atau pulau.
yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang
terdapat proyek strategis nasional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-4. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
+3. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
@@ -6195,27 +6135,71 @@ mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
+4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
-(1) Pemanfaatan hutan dapat dilakukan di hutan lindung
-dan hutan produksi dengan pemberian Perizinan
-Berusaha dari Pemerintah Pusat
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-6. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
-7. Ketentuan Pasal 28 dihapus.
-8. Ketentuan Pasal 29 dihapus.
+(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa
+pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
+dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
+(2) Pemanfaatan hutan lindung sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan
+Berusaha dari Pemerintah Pusat.
+5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 27
+Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
+ayat (2) dapat diberikan kepada:
+a. perorangan;
+b. koperasi;
+c. badan usaha milik negara, atau
+d. badan usaha milik daerah.
+e. badan usaha milik swasta;
+157
+6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 28
+(1) Pemanfaatan Hutan Produksi dapat berupa pemanfaatan
+kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan
+hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan
+hasil hutan kayu dan bukan kayu.
+(2) Pemanfaatan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud
+ayat (1) dengan pemberian Perizinan Berusaha dari
+Pemerintah Pusat.
+7. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 29
+Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
+ayat (2) dapat diberikan kepada:
+a. perseorangan;
+b. koperasi;
+c. badan usaha milik negara;
+d. badan usaha milik daerah; atau
+e. badan usaha milik swasta.
+8. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal
+yakni Pasal 29A dan Pasal 29B yang berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 29A
+(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28
+dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial.
+(2) Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+dapat diberikan kepada:
+a. perseorangan;
+b. kelompok tani hutan; dan
+c. koperasi.
+Pasal 29B
+Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
+Pemanfaatan Hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur
+dalam Peraturan Pemerintah.
+158
9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
-189
-Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap
+Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan
-Berusaha dari Pemerintah Pusat diwajibkan bekerjasama
-dengan koperasi atau badan usaha milik desa yang dikelola
-masyarakat setempat.
+Berusaha pemanfaatan hutan, wajib bekerja sama dengan
+koperasi masyarakat setempat.
10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
@@ -6240,25 +6224,29 @@ dan pemasaran hasil hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya
dukung hutan secara lestari.
-(3) Pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
+(3) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengembangan
pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-190
+159
13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
(1) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
-pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara
-Bukan Pajak dibidang kehutanan.
-(2) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
-pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi
-untuk biaya pelestarian hutan
+pemanfaatan hutan dikenakan penerimaan negara
+bukan pajak dibidang kehutanan.
+(2) Penerimaan negara bukan pajak dibidang kehutanan
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari
+dana reboisasi hanya dipergunakan untuk kegiatan
+rehabilitasi hutan dan lahan.
(3) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
-pemungutan hasil hutan hanya dikenakan Penerimaan
-Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan berupa
-provisi.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
+pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi
+untuk biaya pelestarian hutan.
+(4) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
+pemungutan hasil hutan hanya dikenakan penerimaan
+negara bukan pajak berupa provisi dibidang
+kehutanan.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
14. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
@@ -6276,14 +6264,20 @@ mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu
tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
-191
+160
15. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
-(1) Pemerintah Pusat mengatur perlindungan hutan, baik
-di dalam maupun di luar kawasan hutan.
+(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat, mengatur perlindungan hutan, baik di dalam
+maupun di luar kawasan hutan.
(2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan
-oleh Pemerintah Pusat.
+oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat.
(3) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
@@ -6295,12 +6289,15 @@ yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam
upaya perlindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah
+dengan Peraturan Pemerintah.
16. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
-Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan
-upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di
+(1) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib
+melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di
+areal kerjanya.
+(2) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha
+bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di
areal kerjanya.
17. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
@@ -6308,26 +6305,18 @@ Pasal 50
(1) Setiap orang yang diberikan Perizinan Berusaha di
kawasan hutan dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.
-(2) Setiap orang dilarang :
-a. merambah kawasan hutan;
-192
-b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
-hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
-1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau
-danau;
-2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri
-kanan sungai di daerah rawa;
-3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
-4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak
-sungai;
-5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
-6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang
-tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
-c. membakar hutan;
-d. menebang pohon atau memanen atau memungut
-hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak
-atau persetujuan dari pejabat yang berwenang;
-e. menggembalakan Ternak di dalam kawasan hutan
+161
+(2) Setiap orang dilarang:
+a. mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki
+kawasan hutan secara tidak sah;
+b. membakar hutan;
+c. memanen atau memungut hasil hutan di dalam
+hutan tanpa memiliki hak atau persetujuan dari
+pejabat yang berwenang;
+d. menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut
+diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil
+atau dipungut secara tidak sah;
+e. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan
yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;
f. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
@@ -6336,135 +6325,97 @@ keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke
dalam kawasan hutan; dan
g. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut
tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak
-dilindungi Undang-Undang yang berasal dari
+dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa persetujuan pejabat yang
berwenang.
-(3) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau
-mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang
-dilindungi, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundang-undangan yang berlaku.
-193
-18. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 77
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi
-wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
-Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
-tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-194
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-Tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
+(3) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan/atau
+mengangkut tumbuhan dan/atau satwa yang
+dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan.
+18. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 50A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 50A
+(1) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d dan/atau huruf e
+dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok
+masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau
+di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun
+secara terus menerus dikenai Sanksi Administratif.
+(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1), dikecualikan terhadap:
+a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat
+yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di
+sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima)
+tahun secara terus-menerus terdaftar dalam
+kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
+162
+b. orang perseorangan yang telah mendapatkan
+sanksi sosial atau sanksi adat.
19. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 78
-(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1),
-diancam dengan pidana penjara paling lama 10
-195
-(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
+(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama
+10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
-(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a
-atau huruf b, diancam dengan pidana penjara paling
-singkat 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
-Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta
-rupiah).
-(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c,
-diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima
-belas) tahun dan denda paling banyak
-Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta
-rupiah).
+(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (2) huruf a, diancam dengan pidana penjara
+paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
+banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
+juta rupiah).
+(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (2) huruf b, diancam dengan pidana penjara
+paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
+banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
+juta rupiah).
(4) Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar
-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat
-(2) huruf c, diancam dengan pidana denda paling
-banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (2) huruf b, diancam dengan pidana penjara
+paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
+Rp. Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta
rupiah).
-(5) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
-d, dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh)
-tahun dan denda paling banyak Rp7.500.000.000,00
-(tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
-(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
+(5) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (2) huruf c, diancam dengan pidana penjara
+paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
+Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta
+rupiah).
+(6) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (2) huruf d, dengan pidana penjara paling lama 5
+(lima) tahun dan denda paling banyak Rp
+3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
+(7) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4),
diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta
rupiah).
-(7) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e,
-diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-196
-tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00
-(dua miliar rupiah).
+163
(8) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f,
-diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
+e, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
+bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00
+(sepuluh juta rupiah).
+(9) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
+f, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00
(dua miliar rupiah).
-(9) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
+(10) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
-g, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan denda paling sedikit
-Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
-(10) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
-ayat (2) dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau
-atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan
-dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
-pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
-pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga)
-dari pidana yang dijatuhkan.
-(11) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
+g, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
+tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
+(seratus juta rupiah).
+(11) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
+ayat (1) dan ayat (2) apabila dilakukan oleh dan/atau
+atas nama korporasi, selain pengenaan sanksi pidana
+terhadap pengurusnya juga dikenakan terhadap
+korporasi dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari
+denda pidana pokok.
+(12) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat
angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana
@@ -6473,11 +6424,10 @@ dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
berikut:
Pasal 80
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam
-Undang-Undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi
+undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78,
mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu
-untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat
-197
+untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat
kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada
Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
@@ -6486,10 +6436,12 @@ hutan yang diatur dalam Undang-Undang ini, apabila
melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi
administratif.
-(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-Pasal 38
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ganti rugi
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
+164
+pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+Pasal 37
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130,
@@ -6509,8 +6461,7 @@ oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan
merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar,
-penggunaan kawasan hutan tanpa Perizinan atau
-198
+penggunaan kawasan hutan tanpa Perizinan atau
penggunaan Perizinan yang bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian Perizinan di dalam
kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah
@@ -6531,6 +6482,7 @@ masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar
kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional
dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan
sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
+165
7. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya
perusakan hutan.
@@ -6544,7 +6496,6 @@ hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil
hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil
untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariannya.
-199
10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa
kayu melalui kegiatan penebangan, permudaan,
@@ -6574,10 +6525,10 @@ kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian
khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam
satu kesatuan komando.
+166
16. Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang
yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan
suatu tugas dan tanggung jawab tertentu.
-200
17. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya
disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan
@@ -6610,9 +6561,9 @@ Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
-201
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan.
+167
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
@@ -6642,8 +6593,7 @@ menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari
Pemerintah;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang
-lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
-202
+lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan Berusaha dari Pemerintah;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal
@@ -6656,6 +6606,7 @@ sungai, darat, laut, atau udara;
k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar,
menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang
diketahui berasal dari pembalakan liar;
+168
l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
@@ -6663,7 +6614,24 @@ m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah.
-4. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
+4. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 12A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 12A
+(1) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
+dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima)
+tahun secara terus menerus yang melakukan pelanggaran
+terhadap pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f,
+dan/atau huruf h dikenai sanksi administratif.
+(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1), dikecualikan terhadap:
+a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat
+yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di
+sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima)
+tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam
+kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
+b. orang perseorangan yang telah mendapatkan
+sanksi sosial atau sanksi adat.
+5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Setiap orang dilarang:
@@ -6675,10 +6643,10 @@ hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah;
b. melakukan kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah;
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
-tambang yang berasal dari kegiatan penambangan
-203
+tambang yang berasal dari kegiatan penambangan
di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari
Pemerintah;
+169
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan
@@ -6706,26 +6674,45 @@ e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan dari Pemerintah.
-5. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
+6. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 17A
+(1) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
+dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5
+(lima) tahun secara terus menerus yang melakukan
+pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf
+c, dan/atau huruf d dikenai sanksi administratif.
+(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1), dikecualikan terhadap:
+a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat
+yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di
+sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima)
+tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam
+kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
+170
+b. orang perseorangan yang telah mendapatkan
+sanksi sosial atau sanksi adat.
+7. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
-204
(1) Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b,
-huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c,
-dan huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan tanpa
-Perizinan yang dilakukan oleh setiap orang sanksi
-administratif berupa:
-a. denda administrasi;
-b. denda atas keterlambatan pembayaran denda;
-c. paksaan pemerintah;
-d. pembekuan izin; dan/atau
-e. pencabutan Perubahan Perizinan.
-(2) Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara
-penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
+huruf c, huruf e, atau Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf
+c, atau huruf e serta kegiatan lain di kawasan hutan
+tanpa Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh badan
+hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif
+berupa:
+a.teguran tertulis:
+b.paksaan pemerintah
+c.denda administratif;
+d.pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
+e.pencabutan Perubahan Perizinan.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+8. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
Setiap orang dilarang:
@@ -6736,13 +6723,13 @@ hasil hutan palsu dan/atau penggunaan kawasan
hutan; dan/atau
c. memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hasil hutan dari Pemerintah.
-7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
+9. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Setiap pejabat dilarang:
+171
a. menerbitkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
-hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
-205
+hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai
dengan kewenangannya;
b. menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan
@@ -6762,9 +6749,9 @@ tanpa hak;
g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam
melaksanakan tugas; dan/atau
h. lalai dalam melaksanakan tugas.
-8. Ketentuan Pasal 53 dihapus.
-9. Ketentuan Pasal 54 dihapus.
-10. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
+10. Ketentuan Pasal 53 dihapus.
+11. Ketentuan Pasal 54 dihapus.
+12. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 82
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
@@ -6776,30 +6763,25 @@ b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b; dan/atau
-206
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
-paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
-ratus juta rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
-(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang
-bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
-kawasan hutan, pelaku dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus
+172
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
+tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
+paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
+rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
+miliar lima ratus juta rupiah).
+(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat
+tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan
+kurang dari 5 (lima) tahun dan tidak terus menerus,
+pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat
+3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
+pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
-(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
-(5) Korporasi yang:
+(3) Korporasi yang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
@@ -6809,28 +6791,25 @@ hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b;
dan/atau
-207
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf c,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
-paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
-rupiah).
-(6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
-(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
-(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
-ayat (3), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-11. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Dipidana bagi:
+1. pengurusnya dengan pidana penjara paling
+singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
+belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
+paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
+belas miliar rupiah); dan/atau
+2. korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari
+denda pidana yang dijatuhkan.
+13. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 83
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
-menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
+menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
+173
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
@@ -6840,16 +6819,12 @@ dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
-208
-paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
-ratus juta rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
-(3) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
+tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana
+denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
+rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
+miliar lima ratus juta rupiah).
+(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha
@@ -6861,28 +6836,25 @@ dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
-paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimakusd pada ayat
-(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
-(delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf c dilakukan oleh
-orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
-dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling sedikit
-Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling
-banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-209
-(6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
-(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
-(7) Korporasi yang:
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
+(delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta
+pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh
+juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
+(satu miliar rupiah).
+(3) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) huruf c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang
+perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
+dan/atau di sekitar kawasan hutan paling lama 5 (lima)
+tahun dan tidak secara terus menerus, pelaku dipidana
+dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
+paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
+sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan
+paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
+rupiah).
+(4) Korporasi yang:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
-menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
+menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
+174
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
@@ -6892,78 +6864,57 @@ dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf h,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
-paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
-rupiah).
-(8) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
+dipidana dengan pidana penjara bagi pengurusnya
+paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
+belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
+banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
+dan/atau korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari
+denda pokoknya.
+(5) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(7), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
+(4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta pidana denda.
-(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
-ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-12. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
+14. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
-210
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa
alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
-huruf f dikenai sanksi administratif berupa denda
-paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
-juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
-(lima miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
-(3) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya
+huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat
+1 (tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau
+pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua
+ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
+(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
-kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat
+kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-12 huruf f dikenai sanksi administratif berupa denda
-paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
-dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
-rupiah).
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
-(delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.
-(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh orang perseorangan
-yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
-kawasan hutan, dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu
-rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
-ratus juta rupiah).
-211
-(6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
-(tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun.
-(7) Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim
+12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling
+singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua)
+tahun serta pidana denda paling sedikit
+Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
+banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
+175
+(3) Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim
digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan Berusaha dari pejabat yang berwenang
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dikenai
-sanksi administratif paling sedikit Rp2.000.000.000,00
-(dua miliar rupiah) dan paling banyak
-Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
-(8) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(7), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
-(dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
-(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
-ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-13. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f
+dipidana bagi:
+a. pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat
+2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
+tahun dan pidana denda paling sedikit
+Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
+banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
+rupiah); dan/atau
+b. korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari denda
+pidana yang dijatuhkan.
+15. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 85
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa
@@ -6971,31 +6922,27 @@ alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim
atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
Berusaha dari pejabat yang berwenang sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling sedikit
-Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
-banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
-212
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
-(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
-(3) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alatalat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
+dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan
+pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
+lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling
+sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
+paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
+rupiah).
+(2) Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alatalat lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha dari pejabat
-yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-12 huruf g dikenai sanksi administratif berupa denda
-paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
-dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
-miliar rupiah).
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
-(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
-ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
+yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
+huruf g dipidana bagi:
+a. pengurusnya pidana penjara paling singkat 5
+(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
+dan pidana denda paling sedikit
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
+paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
+miliar rupiah); dan/atau
+b. korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari denda
+pidana yang dijatuhkan.
+176
+16. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 92
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
@@ -7006,19 +6953,15 @@ huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan
untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau
-mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan
-213
+mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan
tanpa Perizinan dari Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
-rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
-(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
-(3) Korporasi yang:
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
+tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
+pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu
+miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
+(2) Korporasi yang:
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa Perizinan
di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
@@ -7029,22 +6972,18 @@ dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) huruf a,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
-dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
-miliar rupiah).
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
-(delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
-ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-214
-15. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
+dipidana dengan pidana penjara bagi pengurusnya
+paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20
+(dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit
+Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan
+paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
+rupiah) dan/atau bagi korporasi dikenakan pemberatan
+1/3 dari denda pokoknya.
+17. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 93
-(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
+(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
+177
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
@@ -7060,21 +6999,17 @@ kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf e,
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
-rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
-(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
-(3) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
+tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana
+denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
+lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
+(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
-huruf c;
-215
+huruf c;
b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
@@ -7084,17 +7019,16 @@ c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
-ayat (2) huruf e
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
-paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
-(4) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
-(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
-(5) Korporasi yang:
+ayat (2) huruf e.
+dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
+tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana
+denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
+rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
+miliar rupiah).
+(3) Korporasi yang:
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
-perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
+perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
+178
di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau
@@ -7106,21 +7040,15 @@ c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
-ayat (2) huruf e
-216
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
-paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
-rupiah).
-(6) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
-(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
-(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
-ayat (3), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-16. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
+ayat (2) huruf e,
+dipidana dengan pidana penjara bagi pengurusnya
+paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
+belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
+banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)
+dan/atau korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari
+denda pidana yang dijatuhkan.
+18. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 96
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
@@ -7141,9 +7069,9 @@ denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Korporasi yang:
-217
a. memalsukan Perizinan Berusaha terkait
-pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau
+pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau
+179
penggunaan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
b. menggunakan Perizinan Berusaha terkait
@@ -7153,12 +7081,16 @@ dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
c. memindahtangankan atau menjual Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf c,
-dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
-tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta
-pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
-miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
-(lima belas miliar rupiah).
-17. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
+dipidana bagi:
+1. pengurusnya dipidana dengan pidana penjara
+paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
+(lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
+Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
+banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
+rupiah).
+2. korporasi dikenakan pemberatan 1/3 dari denda
+pidana yang dijatuhkan.
+19. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 105
Setiap pejabat yang:
@@ -7173,7 +7105,6 @@ penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf b;
-218
c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c;
@@ -7181,7 +7112,8 @@ d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;
e. melakukan permufakatan untuk terjadinya
-pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
+pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
+180
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf e;
f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan
@@ -7197,56 +7129,50 @@ tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
-18. Di antara Pasal 110 dan 111 disisipkan 2 (dua) pasal yakni:
-a. Pasal 110A yang berbunyi sebagai berikut:
+20. Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 2 (dua) pasal
+yakni Pasal 110A dan Pasal 110B sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
Pasal 110A
-(1) Terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun
-didalam kawasan hutan yang belum memenuhi
-persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundang-undangan wajib menyelesaikan
-persyaratan paling lambat 2 (dua) tahun sejak
-Undang-Undang ini diundangkan.
-219
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata
-cara pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-b. Pasal 110B yang berbunyi sebagai berikut:
+(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang
+telah terbangun dan memiliki perizinan di dalam
+kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang
+ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan
+ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
+kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling
+lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini
+berlaku.
+(2) Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya
+undang-undang ini tidak menyelesaikan persyaratan
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
+administratif, berupa:
+a. penghentian sementara kegiatan usaha;
+b. pembayaran denda administatif; dan/atau
+c. pencabutan izin.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis,
+besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
+administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 110B
-(1) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
-ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat
-(2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan lain
-di kawasan hutan tanpa Perizinan dikenai sanksi
-administratif berupa denda dan denda atas
-keterlambatan pembayaran
-(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-berlaku untuk pelanggaran yang dilakukan sebelum
-berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
-(3) Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban sanksi
+(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
+181
+b, huruf c, huruf e, atau Pasal 17 ayat (2) huruf b,
+huruf c, atau huruf e, atau kegiatan lain di kawasan
+hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang
+dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini
+dikenai sanksi administratif, berupa:
+a. penghentian sementara kegiatan usaha;
+b. denda; dan/atau
+c. paksaan pemerintah.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis,
+besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-setelah jangka waktu 6 (enam) bulan, di pidana
-dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
-dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
-denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh)
-milyar rupiah) dan paling banyak
-Rp20.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).
-c. Pasal 110C yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 110C
-Setiap orang yang melanggar larangan sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, dan huruf c,
-Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf e, dan Pasal
-17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e serta kegiatan
-lain di kawasan hutan tanpa Perizinan yang dilakukan
-setelah berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja,
-dikenai sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 82, Pasal 83, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,
-220
-dan Pasal 93 dan dikenai sanksi administrasi
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
-19. Ketentuan Pasal 111 dihapus.
-20. Ketentuan Pasal 112 dihapus.
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+21. Ketentuan Pasal 111 dihapus.
+22. Ketentuan Pasal 112 dihapus.
Paragraf 5
Energi Dan Sumber Daya Mineral
-Pasal 39
+Pasal 38
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, Undang-Undang ini
@@ -7255,621 +7181,70 @@ beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
-Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
+Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959)
+sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
+Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
+Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara
+(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
+147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
+Nomor 6525);
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4152);
c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
-(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
+(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
+182
217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5585);
d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052).
-Pasal 40
-221
+Pasal 39
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan
-Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) diubah:
-1. Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, angka 9, angka 10,
-angka 11, angka 12, angka 13 dihapus, dan angka 20
-diubah, di antara angka 20 dan angka 21 disisipkan 1 (satu)
-angka baru yakni angka 20A sehingga Pasal 1 berbunyi
-sebagai berikut:
-Pasal 1
-Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
-1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
-kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan
-pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi
-penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
-konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
-pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan
-pascatambang.
-2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di
-alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia. tertentu serta
-susunan kristal teratur atau gabungailnya yang
-membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
-3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan
-yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan,
-4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan
-mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas
-bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
-5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan
-karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
-padat, gambut, dan batuan aspal.
-6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalarn rangka
-pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
-222
-tahapan kegiatarl penyelidikan umum, eksplorasi, studi
-kelayakan, konstrultsi, penambangan, pengolahar: dan
-pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
-pascatambang.
-7. Dihapus.
-8. Dihapus.
-9. Dihapus.
-10. Dihapus.
-11. Dihapus.
-12. Dihapus.
-13. Dihapus.
-14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan
-pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi
-regions1 dan indikasi adanya mineralisasi.
-15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha
-pertambangan untuk memperoleh informasi secara
-terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi,
-sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan
-galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
-lingkungan hidup.
-16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha
-pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci
-seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan
-kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan,
-termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta
-perencanaan pascatambang.
-17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha
-pertambangan yang meliputi konstruksi, penarnbangan,
-pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan
-penjualan, serta sarana pengendalian dampak
-lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
-223
-18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
-melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi
-produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan.
-19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha
-pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
-batubara dan mineral ikutannya.
-20. Pengolahan mineral adalah upaya meningkatkan mutu
-komoditas tambang mineral untuk menghasilkan produk
-dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari sifat
-komoditas tambang asal untuk dilakukan pemurnian
-atau menjadi bahan baku industri.
-20A. Pemurnian mineral adalah upaya untuk meningkatkan
-mutu komoditas tambang melalui proses ekstraksi serta
-proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk
-menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang
-berbeda dari komoditas tambang asal sampai dengan
-produk logam sebagai bahan baku industri.
-21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertamhangan
-untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari
-daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan
-pemurnian sampai tempat penyerahan.
-22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
-menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
-23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak
-di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan
-hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah
-Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang
-berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan.
-25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya
-disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak besar
-dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
-direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
-224
-bagi proses pengambilan keputusan tentang
-penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
-26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang
-tahapan usaha pertambangan untuk menata,
-memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan
-ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai
-peruntukannya.
-27. Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut
-Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis,
-dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh
-kegiatan usaha pertambangan untuk memuilihkan fungsi
-lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal
-di seluruh wilayah penambangan.
-28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk
-meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara
-individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik
-tingkat kehidupannya.
-29. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disingkat WP
-adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau
-batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
-pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang
-nasional.
-30. Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat
-WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki
-ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
-31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya
-disingkat WIUP adalah wilayah yang diberikan kepada
-pemegang IUP.
-32. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya
-disingkat WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan
-kegiatan usaha pertambangan rakyat.
-225
-33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disingkat
-WPN adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk
-kepentingan strategis nasional.
-34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya
-disingkat WUPK adalah bagian dari WPN yang dapat
-diusahakan.
-35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK
-yang selanjutnya disingkat WIUPK adalah wilayah yang
-diberikan kepada pemegang IUPK.
-36. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
-adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
-kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
-sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
-Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
-kota, dan perangkat daerah sebagai unsur
-penyelenggaraan pemerintahan daerah.
-38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
-pemerintahari di bidang pertambangan mineral dan
-batubara.
-2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 4
-(1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang
-tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang
-dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan
-rakyat.
-(2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan
-oleh Pemerintah Pusat.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
-penguasaan mineral dan batubara diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
-226
-3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 6
-Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan
-pertambangan mineral dan batubara, meliputi:
-a. penetapan kebijakan nasional;
-b. pembuatan peraturan perundang-undangan;
-c. penetapan norma, standar, pedoman, dan kriteria;
-d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan
-batubara nasional;
-e. pemberian Perizinan Berusaha terkait pertambangan
-mineral dan batubara di seluruh wilayah hukum
-pertambangan;
-f. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi
-dengan pemerintah daerah;
-g. pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
-pengawasan usaha pertambangan;
-h. penetapan kebijakan produksi, pemasaran,
-pemanfaatan, dan konservasi;
-i. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan
-pemberdayaan masyarakat;
-j. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan
-pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan
-batubara;
-k. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta
-eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
-informasi mineral dan batubara sebagai bahan
-penyusunan wilayah pertambangan;
-l. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber
-daya mineral dan batubara, serta informasi
-pertambangan pada wilayah hukum pertambangan
-Indonesia;
-227
-m. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi dan
-pascatambang;
-n. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara
-wilayah hukum pertambangan Indonesia;
-o. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan
-usaha pertambangan; dan
-p. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah Pusat
-dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
-pengelolaan usaha pertambangan.
-4. Ketentuan Pasal 7 dihapus.
-5. Ketentuan Pasal 8 dihapus.
-6. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 35
-(1) Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan
-Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
-(2) Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) terdiri atas:
-a. kegiatan usaha Pertambangan;
-b. kegiatan usaha Pertambangan Rakyat; dan
-c. kegiatan usaha Pertambangan Khusus.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-terkait Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-7. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 36
-(1) Kegiatan usaha Pertambangan dan kegiatan
-pertambangan khusus terdiri atas dua tahap kegiatan:
-a. Eksplorasi yang meliputi kegiatan penyelidikan
-umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
-b. Operasi Produksi yang meliputi kegiatan
-konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau
-228
-pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
-reklamasi dan pasca tambang.
-(2) Pelaku usaha yang memenuhi Perizinan Berusaha
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
-sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan
-mineral dan batubara.
-(3) Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
-pada ayat (2) wajib menggunakan sistem perizinan
-terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh
-Pemerintah.
-8. Ketentuan Pasal 37 dihapus.
-9. Ketentuan Pasal 39 dihapus.
-10. Ketentuan Pasal 43 dihapus.
-11. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
-12. Ketentuan Pasal 45 dihapus.
-13. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 47
-(1) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan terdiri atas:
-a. mineral logam;
-b. mineral bukan logam;
-c. mineral bukan logam jenis tertentu;
-d. batuan; dan
-e. batubara.
-(2) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral
-logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
-dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20
-(dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
-masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
-(3) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral
-bukan logam sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b
-dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10
-229
-(sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
-masing-masing 5 (lima) tahun.
-(4) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan mineral
-bukan logam jenis tertentu sebagaimana dimaksud ayat
-(1) huruf c dapat diberikan dalam jangka waktu paling
-lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2
-(dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.
-(5) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batuan
-sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d dapat
-diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
-tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun.
-(6) Kegiatan Operasi Produksi pertambangan batubara
-sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e dapat diberikan
-dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun
-dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
-(sepuluh) tahun.
-(7) Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan
-penambangan yang terintegrasi dengan kegiatan
-pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana
-diatur dalam Undang-Undang ini dapat diberikan
-jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat
-diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan
-seumur tambang.
-(8) Kegiatan Operasi Produksi yang melakukan kegiatan
-pengembangan dan pemanfaatan batubara yang
-terintegrasi sebagaimana diatur pada Undang-Undang
-ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh)
-tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 (sepuluh)
-tahun sampai dengan seumur tambang.
-(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
-penambangan yang terintegrasi sebagaimana dimaksud
-230
-pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 48 dihapus.
-15. Ketentuan Pasal 67 dihapus.
-16. Ketentuan Pasal 72 dihapus.
-17. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
-18. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
-19. Ketentuan Pasal 76 dihapus.
-20. Ketentuan Pasal 78 dihapus.
-21. Ketentuan Pasal 79 dihapus.
-22. Ketentuan Pasal 81 dihapus.
-23. Ketentuan Pasal 82 dihapus.
-24. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 83
-Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan
-kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pelaku
-usaha pertambangan khusus meliputi:
-a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
-pertambangan mineral logam diberikan dengan luas
-paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare;
-b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
-pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
-banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare;
-c. Luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi
-Produksi pertambangan mineral logam dan batubara
-diberikan berdasarkan hasil evaluasi Pemerintah Pusat
-terhadap rencana kerja seluruh wilayah yang diusulkan
-oleh pelaku usaha pertambangan khusus;
-d. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
-untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan mineral
-logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun;
-231
-e. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
-untuk kegiatan Eksplorasi pertambangan batubara
-dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun;
-f. jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
-untuk kegiatan Operasi Produksi mineral logam atau
-batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh)
-tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun;
-g. Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
-mineral logam untuk tahap kegiatan operasi produksi
-yang melaksanakan pengolahan dan pemurnian
-mineral logam yang terintegrasi sebagaimana diatur
-dalam Undang-Undang ini dapat diberikan jangka
-waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat
-diperpanjang setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan
-seumur tambang; dan
-h. Jangka waktu kegiatan usaha pertambangan khusus
-batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang
-melaksanakan pengembangan dan pemanfatan
-batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam
-Undang-Undang ini dapat diberikan jangka waktu
-selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang
-setiap 10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur
-tambang.
-25. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 102
-(1) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
-pertambangan mineral dan batubara wajib
-meningkatkan nilai tambah sumber daya Mineral
-dan/atau Batubara melalui:
-a. pengolahan dan Pemurnian Mineral logam;
-b. pengolahan Mineral bukan logam;
-232
-c. pengolahan batuan; dan/atau
-d. pengembangan dan pemanfatan batubara.
-(2) Pelaku usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan
-dan pengembangan batubara sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) huruf d dapat dikecualikan dari kewajiban
-pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri.
-26. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 104
-(1) Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk
-kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha
-pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengolahan
-dan/atau pemurnian dengan Pelaku Usaha Kegiatan
-Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan
-dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan
-pihak lain yang melakukan kegiatan usaha pengolahan
-dan/atau pemurnian.
-(2) Pelaku Usaha Kegiatan Operasi Produksi untuk
-kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan usaha
-pertambangan khusus sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 103 dapat melakukan kerjasama pengembangan
-pemanfaatan batubara dengan Pelaku Usaha Kegiatan
-Operasi Produksi untuk kegiatan usaha pertambangan
-dan kegiatan usaha pertambangan khusus atau dengan
-pihak lain yang melakukan kegiatan usaha
-pengembangan dan pemanfaatan batubara.
-27. Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
+Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana
+telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
+tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
+Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik
+Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
+Republik Indonesia Nomor 6525) diubah:
+1. Di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 128A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128A
(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai
-tambah mineral dan batubara sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu
-233
-terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 128.
+tambah batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
+103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap
+kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban
penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara
-dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
+dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol
+persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-28. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 134
-(1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak
-atas tanah permukaan bumi.
-(2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat
-dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
-melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai
-dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-(3) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat
-dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
-melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai
-dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-(4) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kegiatan
-usaha pertambangan dengan kawasan hutan, rencana
-tata ruang, Perizinan Berusaha/persetujuan, dan/atau
-hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud
-diatur dengan Peraturan Presiden.
-29. Di antara Pasal 138 dan 139 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
-Pasal 138A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 138A
-(1) Pemerintah Pusat melakukan penyelesaian
-permasalahan hak atas tanah untuk kegiatan usaha
-234
-pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-134, Pasal 135, Pasal 136, dan Pasal 137.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian hak atas
-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
-30. Ketentuan Pasal 149 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 149
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya dibidang pos diberi wewenang
-khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
-Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
-tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-235
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yangdiduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
-Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
-hukum.
-236
-31. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
+2. Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-Pasal 151
-(1) Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya
-memberikan sanksi administratif kepada pemegang
-Perizinan Berusaha atas pelanggaran ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal
-40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal
-93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal
-99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3),
-Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal
-110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114
-ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal
-126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau
-Pasal 130 ayat (2).
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
-tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-32. Ketentuan Pasal 152 dihapus.
-33. Ketentuan Pasal 162 dihapus.
-34. Ketentuan Pasal 165 dihapus.
-35. Di antara Pasal 169 dan Pasal 170 disisipkan 1 (satu) pasal
-yakni Pasal 169A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 169A
-(1) Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
-pertambangan batubara:
-a. yang belum memperoleh perpanjangan dapat
-diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha terkait
-Pertambangan Khusus perpanjangan pertama
-sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang
-setelah berakhirnya kontrak karya atau perjanjian
-karya pengusahaan pertambangan batubara dengan
-237
-mempertimbangkan peningkatan penerimaan
-negara; dan
-b. yang telah memperoleh perpanjangan pertama
-dapat diperpanjang menjadi Perizinan Berusaha
-terkait Pertambangan Khusus perpanjangan kedua
-sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang
-setelah berakhirnya perpanjangan pertama kontrak
-karya atau perjanjian karya pengusahaan
-pertambangan batubara dengan
-mempertimbangkan peningkatan penerimaan
-negara.
-(2) Peningkatan penerimaan negara sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) untuk Perizinan Berusaha
-terkait Pertambangan Khusus perpanjangan sebagai
-kelanjutan operasi setelah berakhirnya kontrak karya
-dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
-batubara dilakukan dengan:
-a. pengaturan kembali pengenaan pajak dan
-penerimaan negara bukan pajak;
-b. pemberian luas wilayah sesuai dengan rencana
-kegiatan pada seluruh wilayah perjanjian yang telah
-disetujui oleh Pemerintah Pusat sebelum UndangUndang ini berlaku; dan
-c. kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan
-batubara.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
-perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-36. Di antara Pasal 170 dan 171 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
-Pasal 170A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 170A
-Bagi pemegang Perizinan Berusaha pertambangan hasil
-penyesuaian dari Kuasa Pertambangan yang diberikan
-238
-kepada Badan Usaha Milik Negara dapat diberikan luas
-wilayah sesuai dengan luas wilayah kegiatan usaha
-pertambangan yang telah diberikan sebelumnya.
-37. Di antara Pasal 172 dan 173 disisipkan 2 (dua) pasal yakni:
-a. Pasal 172A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 172A
-(1) IUP, IPR, dan IUPK yang telah diterbitkan oleh
-Menteri atau Pemerintah Daerah sebelum
-berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku
-sampai dengan jangka waktunya berakhir dan
-kewenangan pengelolaannya berada pada
-Pemerintah Pusat.
-(2) Jangka waktu dan luas wilayah IUP atau IUPK
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
-melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan
-batubara secara terintegrasi disesuaikan dengan
-ketentuan dalam Undang-Undang ini.
-b. Pasal 172B yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 172B
-(1) Semua frasa wilayah izin usaha pertambangan, dan
-wilayah pertambangan rakyat dalam UndangUndang yang mengatur tentang Pertambangan
-Mineral dan Batubara diubah menjadi wilayah
-kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan
-ketentuan dalam Undang-Undang ini.
-(2) Semua frasa izin usaha pertambangan, dan izin
-usaha pertambangan rakyat dalam Undang-Undang
-yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan
-Batubara diubah menjadi Perizinan Berusaha
-sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
-ini.
-Pasal 41
-239
+Pasal 162
+Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan
+usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau
+SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2)
+dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
+183
+tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
+juta rupiah).
+Pasal 40
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4152) diubah:
-1. Ketentuan Pasal 1 angka 21 diubah sehingga Pasal 1
-berbunyi sebagai berikut:
+1. Ketentuan Pasal 1 angka 21 dan angka 22 diubah sehingga
+Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa
@@ -7896,7 +7271,6 @@ pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang
berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk
memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak
dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja.
-240
7. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang
berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha
Eksplorasi dan Eksploitasi.
@@ -7904,6 +7278,7 @@ Eksplorasi dan Eksploitasi.
informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan
dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas
Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
+184
9. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan
untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah
Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan
@@ -7930,7 +7305,6 @@ Bumi dan/atau Gas Bumi.
14. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor,
impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk
Niaga Gas Bumi melalui pipa.
-241
15. Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh
wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen
Indonesia.
@@ -7949,6 +7323,7 @@ Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Republik Indonesia.
+185
19. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau
bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan
@@ -7958,14 +7333,15 @@ kemakmuran rakyat.
Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan
memperoleh keuntungan dan/atau laba;
-21. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
-adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan
-pemerintahan negara sesuai Undang-Undang Dasar
-Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-242
-22. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta
-perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan
-Eksekutif Daerah.
+21. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
+yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
+Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil Presiden dan
+menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
+Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
+22. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
+penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
+pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
+kewenangan daerah otonom.
23. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk
untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di
bidang Minyak dan Gas Bumi.
@@ -7990,58 +7366,8 @@ kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi dan kegiatan usaha hilir
minyak dan gas bumi.
-3. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
-Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 4A
-(1) Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
-diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sebagai
-Pemegang Kuasa Pertambangan.
-243
-(2) Pemerintah Pusat sebagai pemegang Kuasa
-Pertambangan dapat membentuk atau menugaskan
-Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagai pelaksana
-kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
-(3) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana
-dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada
-Pemerintah Pusat.
-(4) Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana
-dimaksud pada ayat (3) melakukan kegiatan usaha
-hulu minyak dan gas bumi melalui kerja sama dengan
-Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
-(5) Pemerintah Pusat menetapkan Badan Usaha atau
-Bentuk Usaha Tetap yang akan bekerjasama dengan
-Badan Usaha Milik Negara Khusus sebagaimana
-dimaksud pada ayat (4).
-(6) Kerja sama antara Badan Usaha Milik Negara Khusus
-dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
-sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
-berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
-(7) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
-(6) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan
-pokok yaitu:
-a. penerimaan negara;
-b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
-c. kewajiban pengeluaran dana;
-d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak
-dan Gas Bumi;
-e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
-f. penyelesaian perselisihan;
-g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas
-Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
-h. berakhirnya kontrak;
-244
-i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
-j. keselamatan dan kesehatan kerja;
-k. pengelolaan lingkungan hidup;
-l. pengalihan hak dan kewajiban;
-m. pelaporan yang diperlukan;
-n. rencana pengembangan lapangan;
-o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
-negeri;
-p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan
-hak-hak masyarakat adat; dan
-q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
-4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
+186
+3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan
@@ -8061,28 +7387,7 @@ a. pengolahan;
b. pengangkutan;
c. penyimpanan; dan
d. niaga.
-5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-245
-Pasal 11
-(1) Pemerintah Pusat selaku pemegang Kuasa
-Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
-ayat (2) memberikan Perizinan Berusaha pada setiap
-Wilayah Kerja kepada Badan Usaha Milik Negara
-Khusus untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu
-minyak dan gas bumi.
-(2) Perizinan Berusaha kepada Badan Usaha Milik Negara
-Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
-untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu yang
-operasinya dilakukan secara sendiri.
-6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 12
-(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan Badan Usaha
-Milik Negara Khusus ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
-Wilayah Kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-7. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
+4. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam
@@ -8096,15 +7401,26 @@ a. usaha pengolahan;
b. usaha pengangkuatan;
c. usaha penyimpanan; dan/atau
d. usaha niaga.
-246
(3) Perizinan Berusaha yang telah diberikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan sesuai
dengan peruntukan kegiatan usahanya.
+187
(4) Permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan menggunakan
sistem perizinan terintegrasi secara elektronik yang
dikelola oleh Pemerintah Pusat.
-8. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
+5. Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 23A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 23A
+(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir
+tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 23, dikenai sanksi administratif berupa
+penghentian usaha dan/atau kegiatan, denda,
+dan/atau paksaan pemerintah.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+6. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi
@@ -8116,133 +7432,66 @@ berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-9. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
+7. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-Pasal 50
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan
-Gas Bumi diberi wewenang khusus sebagai Penyidik
-Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
-Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
-melakukan penyidikan tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-247
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-248
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
-10. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pasal 46
+(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan
+pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan
+Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh
+Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
+ayat (4).
+(2) Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam
+ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan
+distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang
+ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh
+188
+wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
+meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.
+(3) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam
+ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai:
+a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak;
+b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
+c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan
+Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
+d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
+e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan
+pelanggan kecil;
+f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
+(4) Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam
+ayat (1) mencakup juga tugas pengawasan dalam
+bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
+(5) Badan Pengatur dalam pengaturan dan penetapan tarif
+pengangkutan gas bumi melalui pipa sebagaimana
+dimaksud pada ayat (3) huruf d wajib mendapatkan
+persetujuan Menteri.
+8. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 52
+Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau
+Eksploitasi tanpa memiliki Perizinan Berusaha atau Kontrak
+Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
+(enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00
+(enam puluh miliar rupiah).
+9. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
-(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan Usaha Hilir
-tanpa Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam
-puluh miliar rupiah);
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
-(lima) tahun;
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-11. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A
+mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap
+kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
+pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
+(lima) tahun atau denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00
+(lima puluh miliar rupiah).
+189
+10. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan
dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas,
dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah
-dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
-249
+dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh
miliar rupiah).
-12. Di antara Pasal 64 dan 65 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
-Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 64A
-(1) Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Negara
-Khusus:
-a. kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan
-berdasarkan kontrak kerja sama antara Satuan Kerja
-Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
-Gas Bumi dengan Badan Usaha dan Bentuk Usaha
-Tetap;
-b. kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak
-kerja sama antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana
-Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan
-Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap tetap berlaku;
-dan
-c. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
-Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap melaksanakan
-tugas dan fungsi penyelenggaraan pengelolaan
-kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.
-(2) Dengan terbentuknya Badan Usaha Milik Negara
-Khusus:
-a. semua hak dan kewajiban serta akibat yang timbul
-terhadap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
-Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dari Kontrak
-Kerja Sama, beralih kepada Badan Usaha Milik
-Negara Khusus; dan
-b. kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Kerja
-Sama sebagaimana dimaksud pada huruf a antara
-Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
-Hulu Minyak dan Gas Bumi dan pihak lain beralih
-kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus.
-250
-(3) Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
-kontrak.
-(4) Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak,
-perjanjian, atau perikatan selain sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) tetap dilaksanakan oleh Satuan
-Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
-dan Gas Bumi sampai dengan terbentuknya Badan
-Usaha Milik Negara Khusus.
-Pasal 42
+Pasal 41
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik
@@ -8254,17 +7503,50 @@ Pasal 4
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
-Pemerintah Pusat.
+Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan
+pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
+kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan.
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
-(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan kegiatan panas
-bumi di seluruh wilayah hukum panas bumi.
-(2) Wilayah hukum panas bumi sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan
-Republik Indonesia, termasuk kawasan hutan dan
-wilayah perairan Indonesia.
-251
+(1) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah Pusat
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan
+terhadap:
+a. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang
+berada pada:
+1. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan
+Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung;
+2. Kawasan Hutan konservasi;
+3. kawasan konservasi di perairan; dan
+190
+4. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur
+dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh
+Indonesia.
+b. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung
+yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk
+Kawasan Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung,
+Kawasan Hutan konservasi, dan wilayah laut.
+(2) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah provinsi
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai
+dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
+ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dilakukan untuk
+Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
+a. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
+termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan
+Hutan lindung; dan
+b. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur
+dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau
+kearah perairan kepulauan.
+(3) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah
+kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
+ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,
+dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada
+pada:
+a. wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan
+produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
+b. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari
+wilayah laut kewenangan provinsi.
3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
@@ -8278,6 +7560,7 @@ d. pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria
untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk
pemanfaatan langsung;
e. pembinaan dan pengawasan;
+191
f. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
Panas Bumi;
g. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
@@ -8286,26 +7569,101 @@ h. pelaksanaan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau
pemanfaatan Panas Bumi; dan
i. pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
kemampuan perekayasaan.
-4. Ketentuan Pasal 7 dihapus.
-5. Ketentuan Pasal 8 dihapus.
+4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 7
+Kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan
+Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
+sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
+ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi:
+a. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah
+provinsi di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan
+Langsung;
+b. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
+langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;
+c. pembinaan dan pengawasan;
+d. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
+Panas Bumi pada wilayah provinsi; dan
+e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
+cadangan Panas Bumi pada wilayah provinsi.
+5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 8
+Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam
+penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 5 ayat (3) sesuai dengan norma, standar, prosedur,
+dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,
+meliputi:
+a. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah
+kabupaten/kota di bidang Panas Bumi untuk
+Pemanfaatan Langsung;
+b. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
+langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;
+c. pembinaan dan pengawasan;
+192
+d. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
+Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota; dan
+e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
+cadangan Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota.
6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
-Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi
-untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib memenuhi norma,
-standar, prosedur dan kriteria.
+(1) Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas
+Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib terlebih
+dahulu memiliki Perizinan Berusaha terkait
+pemanfaatan langsung.
+(2) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
+Pemerintah Pusat untuk pemanfaatan langsung yang
+berada pada:
+a. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan
+produksi dan Kawasan Hutan lindung;
+b. Kawasan Hutan konservasi;
+c. kawasan konservasi di perairan; dan
+d. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari
+garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.
+(3) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
+gubernur sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, untuk
+Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
+a. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
+termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan
+Hutan lindung; dan
+b. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur
+dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke
+arah perairan kepulauan.
+(4) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
+bupati/wali kota sesuai norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, untuk
+Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
+a. wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan
+produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
+193
+b. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari
+wilayah laut kewenangan provinsi.
+(5) Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan
+berdasarkan permohonan dari Setiap Orang.
+(6) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
+diberikan setelah Setiap Orang sebagaimana dimaksud
+pada ayat (5) mendapat persetujuan lingkungan sesuai
+dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
+bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
+hidup.
7. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 14 dihapus.
-252
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur
dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
-Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 termasuk
+harga energi Panas Bumi diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 23
@@ -8318,10 +7676,18 @@ Bumi.
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah
Pusat kepada Badan Usaha berdasarkan hasil
penawaran Wilayah Kerja.
+194
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan
-Tidak Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah
-12. Ketentuan Pasal 24 dihapus.
+Tidak Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 24
+Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk
+Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan,
+pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib
+memenuhi Perizinan Berusaha dibidang kehutanan sesuai
+ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Ketentuan Pasal 25 dihapus.
14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
@@ -8331,8 +7697,7 @@ Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
huruf c jika pelaku usaha Panas Bumi:
a. melakukan pelanggaran terhadap salah satu
ketentuan yang tercantum dalam Perizinan
-Berusaha terkait Panas Bumi; dan/atau
-253
+Berusaha terkait Panas Bumi; dan/atau
b. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Perizinan
Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
@@ -8345,12 +7710,13 @@ Undang-Undang ini.
berikut:
Pasal 37
Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha
-di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-33 huruf d jika:
+terkait Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
+huruf d jika:
+195
a. Pelaku usaha Panas Bumi memberikan data, informasi,
atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan;
atau
-b. Perizinan berusaha terkait Panas Bumi dinyatakan
+b. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dinyatakan
batal berdasarkan putusan pengadilan.
16. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
@@ -8364,7 +7730,6 @@ ketentuan peraturan perundang- undangan.
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi
setelah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat.
-254
(3) Pemerintah Pusat menetapkan persetujuan
pengakhiran Perizinan Berusaha Panas Bumi setelah
pelaku usaha Panas Bumi melaksanakan pemulihan
@@ -8375,38 +7740,102 @@ berikut:
Pasal 40
(1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi
-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
-(2), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 31 ayat (3),
-dan/atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
+Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1)
+atau ayat (2), Pasal 27 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 31
+ayat (3), atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi
+administratif.
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) berupa:
+a. peringatan tertulis;
+b. penghentian sementara seluruh kegiatan;
+c. denda administrasi; dan/atau
+d. pencabutan Perizinan Berusaha.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+196
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
+Peraturan Pemerintah.
18. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
-Dalam hal pelaku usaha pemanfaatan langsung atau pelaku
-usaha Panas Bumi akan menggunakan bidang tanah
-negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan
-Hutan di dalam Wilayah Kerja, harus terlebih dahulu
-melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai
-tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau izin di
-bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundang-undangan.
-19. Ketentuan Pasal 43 dihapus.
+(1) Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah
+negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau
+Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang
+Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau
+pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi
+harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian
+penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas
+tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan
+Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan
+ketentuan peraturan perundang-undangan.
+(2) Dalam hal Pemerintah Pusat melakukan Eksplorasi
+untuk menetapkan Wilayah Kerja sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), sebelum melakukan
+Eksplorasi, Menteri melakukan penyelesaian
+penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas
+tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan
+Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan
+ketentuan peraturan perundang-undangan.
+(3) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
+ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat
+dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang
+layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada
+pemakai tanah di atau tanah negara atau pemegang
+hak.
+(4) Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi
+dilakukan oleh badan usaha milik negara yang
+mendapat penugasan khusus dari Pemerintah,
+penyediaan tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan
+peraturan perundang-undangan.
+19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+(1) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
+langsung atau Pemegang Perizinan Berusaha terkait
+Panas Bumi sebelum melakukan pengusahaan Panas
+Bumi di atas tanah negara, hak atas tanah, tanah
+ulayat, dan/atau Kawasan Hutan harus:
+a. memperlihatkan:
+197
+1. Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
+langsung atau salinan yang sah; atau
+2. Perizinan Berusaha terkait panas bumi atau
+salinan yang sah;
+b. memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang
+akan dilakukan; dan
+c. melakukan penyelesaian atau jaminan penyelesaian
+yang disetujui oleh pemakai tanah di atas tanah
+negara dan/atau pemegang hak sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 42.
+(2) Jika pemegang Perizinan Berusaha terkait
+pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan
+Berusaha terkait panas bumi telah memenuhi
+ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
+pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau
+pemegang hak wajib mengizinkan pemegang Perizinan
+Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau
+pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi
+untuk melaksanakan pengusahaan Panas Bumi di atas
+tanah yang bersangkutan.
20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi
-pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan
-255
+pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
-21. Ketentuan Pasal 47 dihapus.
+21. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 47
+Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan
+pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan
+Berusaha yang diberikan.
22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:
-a. memahami dan menaati peraturan perundangundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
+a. memahami dan menaati peraturan perundangundangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
+198
serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan memenuhi standar yang berlaku;
b. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau
@@ -8426,24 +7855,39 @@ Pasal 50
(1) Setiap orang Pemegang Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 48 huruf b, huruf c, dan huruf d dan/atau Pasal
-49 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
+Pasal 48 huruf a atau huruf b atau Pasal 49 dikenai
+sanksi administratif.
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) berupa:
+a. peringatan tertulis;
+b. penghentian sementara seluruh kegiatan
+pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
+Langsung; dan/atau
+c. pencabutan Perizinan Berusaha.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-256
+(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
25. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
(1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi
-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
+ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
+199
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i,
-dan huruf j, Pasal 53 ayat (1), dan/atau Pasal 54 ayat
-(1) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+atau huruf j, Pasal 53 ayat (1), atau Pasal 54 ayat (1)
+atau ayat (4) dikenai sanksi administratif.
+(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) berupa:
+a. peringatan tertulis;
+b. penghentian sementara seluruh kegiatan
+Eksplorasi,
+c. Eksploitasi, dan pemanfaatan; dan/atau
+d. pencabutan Perizinan Berusaha.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
+Peraturan Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
@@ -8455,162 +7899,71 @@ pengawasan penyelenggaraan Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Langsung diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
27. Ketentuan Pasal 60 dihapus.
-28. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 66
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya dibidang pengusahaan Panas Bumi
-diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
-Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
-Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
-tindak pidana.
-257
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga
-melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media elektronik
-terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang
-dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-258
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan
-memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
-Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dapat
-meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.
-29. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
+28. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 67
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan
-Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana
-dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
-pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
-miliar rupiah).
-30. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
+yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
+kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
+dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
+atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00
+(enam miliar rupiah).
+200
+29. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 68
-(1) Setiap Orang yang memegang Perizinan Berusaha yang
-dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi
-untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang
-ditetapkan dalam Perizinan Berusaha sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif
-259
-berupa denda paling banyak Rp7.000.000.000,00
-(tujuh miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
-tahun 6 (enam) bulan.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-31. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha yang
+dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk
+Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan
+dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya
+korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan
+lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
+(dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
+banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).
+30. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 69
-(1) Setiap Orang yang memegang Perizinan Berusaha terkait
+Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan
pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan
-peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
-32. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
+peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya
+korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan,
+keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana
+penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling
+banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
+31. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 70
-(1) Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
+Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi,
-Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada
-Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
-ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa denda
-260
-paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh
-miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
-(tujuh) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-33. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah
+Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)
+dipidana dengan denda paling banyak
+Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
+32. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 71
-(1) Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan
-pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak
-Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas
-Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
-dikenai sanksi administratif berupa denda paling
-banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
-rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
-(enam) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-34. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan
+Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa
+Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan
+timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan,
+201
+keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan
+pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
+puluh miliar rupiah).
+33. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 72
-(1) Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
+Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi tidak sesuai dengan
-peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
-261
-ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda
-paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
-rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
-(sepuluh) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-35. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
+peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
+ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
+Rp100.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar rupiah).
+34. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 73
Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau
@@ -8619,8 +7972,8 @@ Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).
-36. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
-Pasal 43
+35. Ketentuan Pasal 74 dihapus.
+Pasal 42
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
@@ -8631,11 +7984,11 @@ Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang
menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik
-serta usaha penunjang tenaga listrik.
-262
+serta usaha penunjang tenaga listrik.
2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang
dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk
-segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik
+segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik
+202
yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau
isyarat.
3. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan
@@ -8666,7 +8019,6 @@ tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri,
dan/atau usaha jasa penunjang tenaga listrik.
11. Dihapus.
-263
12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan
Pemerintah sebagai tempat badan usaha melakukan
usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik.
@@ -8679,7 +8031,8 @@ pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,
dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut
karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung
untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan
-pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
+pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
+203
15. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia
@@ -8697,23 +8050,31 @@ hukum.
berikut:
Pasal 3
(1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang
-penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah.
-264
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
-penyediaan tenaga listrik diatur dengan Peraturan
-Pemerintah
+penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat
+dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi
+daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
+dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
+menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
+melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh
-Pemerintah dilakukan oleh badan usaha milik negara.
+Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria, dilakukan oleh badan usaha
+milik negara dan badan usaha milik daerah
(2) Badan usaha milik daerah, Badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi
dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
(3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan
-pemerintah daerah menyediakan dana untuk:
+dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah Pusat dan
+Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk:
a. kelompok masyarakat tidak mampu;
+204
b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di
daerah yang belum berkembang;
c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil
@@ -8725,49 +8086,93 @@ Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
-Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang ketenagalistrikan
+(1) Kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan
meliputi:
a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;
-b. penetapan peraturan perundang-undangan di bidang
-ketenagalistrikan;
-c. penetapan standar, pedoman, dan kriteria di bidang
-ketenagalistrikan;
-265
+b. penetapan peraturan perundang-undangan di
+bidang ketenagalistrikan;
+c. penetapan standar, pedoman, dan kriteria di
+bidang ketenagalistrikan;
d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik
untuk konsumen;
-e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan nasional;
-f. pengesahan rencana usaha penyediaan tenaga listrik;
-g. penetapan wilayah usaha;
+e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan
+nasional;
+f. penetapan wilayah usaha;
+g. penetapan Perizinan Berusaha terkait jual beli
+tenaga listrik lintas negara
h. Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik;
-i. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen dari
-pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
+i. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen
+dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan
+tenaga listrik untuk kepentingan umum;
+j. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik
+dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang
+Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum;
-j. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik dan
-sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang Perizinan
-Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
-umum;
-k. penetapan persetujuan penjualan kelebihan tenaga
-listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan
-tenaga listrik untuk kepentingan sendiri;
+k. penetapan persetujuan penjualan kelebihan
+tenaga listrik dari pemegang Perizinan Berusaha
+penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
+sendiri;
l. penetapan Perizinan Berusaha untuk kegiatan jasa
penunjang tenaga listrik;
-m. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di
+205
+m. penetapan Perizinan Berusaha terkait usaha jasa
+penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh
+badan usaha milik negara atau penanam modal
+asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam
+modal asing;
+n. penetapan Perizinan Berusaha terkait
+pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk
+kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan
+informatika pada jaringan milik pemegang
+Perizinan Berusaha terkait penyediaan tenaga
+listrik atau Perizinan Berusaha terkait operasi
+yang ditetapkan oleh Pemerintah;
+o. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha
+di bidang ketenagalistrikan;
+p. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;
+q. pembinaan jabatan fungsional inspektur
+ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat
+pemerintahan; dan
+r. penetapan sanksi administratif kepada badan
+usaha yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah.
+(2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang
+ketenagalistrikan meliputi:
+a. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang
+ketenagalistrikan;
+b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan
+daerah provinsi;
+c. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha
+di bidang ketenagalistrikan yang Perizinan
+Berusahanya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;
+d. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk
+provinsi; dan
+e. penetapan sanksi administratif kepada badan
+usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
+provinsi.
+(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang
+ketenagalistrikan meliputi:
+a. penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di
bidang ketenagalistrikan;
-n. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;
-o. pembinaan jabatan fungsional inspektur
-ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan;
-dan
-p. penetapan sanksi administratif.
+b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan
+daerah kabupaten/kota;
+c. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha
+di bidang ketenagalistrikan yang izinnya
+ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;
+206
+d. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk
+kabupaten/kota; dan
+e. penetapan sanksi administratif kepada badan
+usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
+kabupaten/kota.
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
(1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun
berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
-266
(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan
-mengikutsertakan pemerintah daerah.
+mengikutsertakan Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan rencana
umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
@@ -8792,11 +8197,11 @@ ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1
dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, usaha
pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di
luar wilayah usahanya.
+207
(5) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum dengan jenis usaha distribusi tenaga listrik
dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh 1
(satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.
-267
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Wilayah Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
@@ -8829,19 +8234,18 @@ wajib menugasi badan usaha milik negara untuk
menyediakan tenaga listrik.
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-268
Pasal 13
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
-dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri beserta
-afiliasinya.
+dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri.
+208
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah
-Pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara,
+Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha swasta,
koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha
lainnya.
-(3) Instansi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, badan
+(3) Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan
lembaga/badan usaha lainnya dalam melaksanakan
@@ -8863,12 +8267,11 @@ f. penelitian dan pengembangan;
g. pendidikan dan pelatihan;
h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik;
-269
i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;
j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik
ketenagalistrikan;
-k. sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga
-listrik; dan
+k. sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik;
+dan
l. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan
dengan penyediaan tenaga listrik.
(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana
@@ -8876,6 +8279,7 @@ dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha
swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang
memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi.
+209
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi,
dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
@@ -8896,7 +8300,6 @@ umum;
b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri; dan
c. usaha jasa penunjang tenaga listrik.
-270
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk untuk
@@ -8911,9 +8314,14 @@ pada ayat (1).
13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
-(1) Pemerintah menetapkan Perizinan Berusaha.
-(2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan
-kriteria berkaitan dengan Perizinan Berusaha.
+(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya menetapkan Perizinan
+210
+Berusaha berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria berkaitan dengan Perizinan
+Berusaha.
14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
@@ -8929,8 +8337,9 @@ Pasal 23
untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan
tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah
-Pusat.
-271
+Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma,
+standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat.
(2) Penjualan kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau
@@ -8943,6 +8352,7 @@ Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk
kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+211
17. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
@@ -8963,8 +8373,7 @@ b. melintasi laut, baik di atas maupun di bawah
permukaan;
c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;
d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan
-menggunakannya untuk sementara waktu;
-272
+menggunakannya untuk sementara waktu;
e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di
bawah tanah;
f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang
@@ -8981,7 +8390,8 @@ Pasal 28
Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum wajib:
a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar
-mutu dan keandalan yang berlaku;
+mutu dan keandalan yang berlaku;
+212
b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
konsumen dan masyarakat;
c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;
@@ -8998,7 +8408,6 @@ c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya
dengan harga yang wajar;
d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada
gangguan tenaga listrik; dan
-273
e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman
yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian
pengoperasian oleh pelaku usaha untuk penyediaan
@@ -9021,6 +8430,7 @@ untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
+213
21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
@@ -9031,7 +8441,6 @@ dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau
kompensasi kepada pemegang hak atas tanah,
bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
-274
(2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan
secara langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha
@@ -9065,7 +8474,7 @@ berikut:
Pasal 32
(1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak
atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud
-275
+214
dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi
@@ -9078,15 +8487,19 @@ Pasal 33
(1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga
listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang
sehat.
-(2) Pemerintah memberikan persetujuan atas harga jual
-tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik.
+(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
+dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas
+harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga
+listrik berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
-(1) Pemerintah menetapkan tarif tenaga listrik untuk
-konsumen.
+(1) Pemerintah Pusat menetapkan tarif tenaga listrik
+untuk konsumen dengan persetujuan Dewan
+Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan
+dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional,
daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan
tenaga listrik.
@@ -9097,10 +8510,10 @@ berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.
berikut:
Pasal 35
Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
-dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen
-276
+dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen
yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
+215
26. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 37
@@ -9116,8 +8529,8 @@ memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan
kondisi:
a. andal dan aman bagi instalasi;
-b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk
-hidup lainnya; dan
+b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup
+lainnya; dan
c. ramah lingkungan.
(3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
@@ -9131,12 +8544,12 @@ memiliki sertifikat laik operasi.
memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.
(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan
wajib memiliki sertifikat kompetensi.
-277
(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan,
sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan
sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
+216
28. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
@@ -9156,28 +8569,32 @@ Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 46
-(1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
-terhadap usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal:
+(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
+berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan
+pembinaan dan pengawasan terhadap usaha
+penyediaan tenaga listrik dalam hal:
a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk
pembangkit tenaga listrik;
b. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk
kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan
informatika;
c. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;
-d. pemenuhan persyaratan keteknikan;
-278
+d. pemenuhan persyaratan keteknikan;
e. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup;
f. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri;
g. penggunaan tenaga kerja asing;
-h. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan
-penyediaan tenaga listrik;
+h. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan
+tenaga listrik;
i. pemenuhan persyaratan perizinan;
-j. penerapan tarif tenaga listrik; dan
+j. penerapan tarif tenaga listrik; dan
+217
k. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha
penunjang tenaga listrik.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat:
+pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
+Daerah dapat:
a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;
b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang
ketenagalistrikan;
@@ -9187,175 +8604,126 @@ d. memberikan sanksi administratif terhadap
pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
-Pusat dibantu oleh inspektur ketenagalistrikan
-dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
+dan/atau Pemerintah Daerah dibantu oleh inspektur
+ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri
+Sipil.
(4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) kepada pemerintah daerah.
+pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-30. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 47
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-279
-tanggungjawabnya dibidang ketenagalistrikan diberi
-wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
-Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
-tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang dicurigai
-adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan barang
-yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-280
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat Polisi
-Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat penegak
-hukum.
-31. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
+30. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (3),
-Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 33
-ayat (3), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 42, atau Pasal 45
-ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
+dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (3),
+Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
+Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37,
+Pasal 42, Pasal 44 ayat (4) atau ayat (5), atau Pasal 45
+ayat (3) dikenai sanksi administratif.:
a. teguran tertulis;
-a. pembekuan kegiatan sementara; dan/atau
-281
-b. pencabutan izin usaha.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-32. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
+b. pembekuan kegiatan sementara;
+c. denda; dan/atau
+d. pencabutan Perizinan Berusaha.
+(2) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau
+membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali
+tanaman, yang:
+218
+a. telah diberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
+b. berpotensi masuk ke ruang bebas atau jarak bebas
+minimum jaringan tenaga listrik; atau
+c. berpotensi membahayakan keselamatan dan/atau
+mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik,
+dikenai sanksi administratif.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+31. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
-(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
-(dua miliar rupiah).
+(2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
+kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
+dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
+tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
+(tiga miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
-listrik untuk kepentingan sendiri yang terhubung
-dengan jaringan tenaga listrik (on grid) tanpa Perizinan
-Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
-dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
-tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
-(empat miliar rupiah).
+listrik untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan
+Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang
+mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
+Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan
+(K3L), dipidana dengan pidana denda paling banyak
+Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa
-persetujuan dari Pemerintah Pusat atau pemerintah
-daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3)
+persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
+Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
+yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
+kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
-33. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
+219
+32. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan
ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang
-282
-karena tenaga listrik dipidana dengan pidana penjara
+44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang
+karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
-banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
+banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha
-penyediaan tenaga listrik atau pemegang Perizinan
-Berusaha dipidana dengan pidana penjara paling lama
-10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
-Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
+penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana
+penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
+paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
+ratus juta rupiah).
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
-pemegang Perizinan Berusah penyediaan tenaga listrik
-atau pemegang izin operasi juga diwajibkan untuk
-memberi ganti rugi kepada korban.
+pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
+diwajibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban.
(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
-sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundangundangan.
-34. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 52
-(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
-listrik yang tidak memenuhi kewajiban terhadap yang
-berhak atas tanah, bangunan, dan tanaman
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
-(lima) tahun.
-(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-dapat dikenai sanksi tambahan berupa pencabutan
-Perizinan Berusaha.
-283
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
+33. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 51A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 51A
+Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan
+bangunan dan/atau menanam kembali tanaman, yang
+telah:
+a. diberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
+b. masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum
+jaringan tenaga listrik; dan/atau
+c. membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu
+keandalan penyediaan tenaga listrik,
+dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
+dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
+rupiah).
+34. Ketentuan Pasal 52 dihapus.
+220
35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 54
(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga
listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dikenai pidana
-penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
-banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-(2) Ketentuan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah
-tangga masyarakat.
-(3) Setiap orang yang mengedarkan atau
-memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga
-listrik yang tidak sesuai dengan standar nasional
-Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
-(5) dikenai sanksi administratif.
+dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) yang mengakibatkan
+timbulnya korban, dipidana dengan pidana penjara
+paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
+Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
+(2) Dalam hal instalasi listrik rumah tangga masyarakat
+dioperasikan tanpa sertifikat laik operasi, dampak yang
+timbul akibat ketiadaan sertifikat laik operasi menjadi
+tanggung jawab penyedia tenaga listrik.
Paragraf 6
Ketenaganukliran
-Pasal 44
+Pasal 43
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor Ketenaganukliran, beberapa ketentuan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
@@ -9364,7 +8732,6 @@ Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3676)
diubah:
1. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:
-284
Pasal 2A
Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan
Berusaha terkait ketenaganukliran.
@@ -9376,10 +8743,10 @@ berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan
pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan
tenaga nuklir.
+221
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Badan Pengawas menyelenggarakan
-peraturan dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh
-Presiden.
+peraturan, perizinan, dan inspeksi.
3. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9
@@ -9388,34 +8755,41 @@ Pasal 9
pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bahan galian nuklir
-diatur dengan Peraturan Pemerintah
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Di antara Pasal 9 dan 10 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
(1) Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang
melakukan kegiatan pertambangan Bahan Galian
Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
-(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+(2) Kegiatan pertambangan, sebagaimana dimaksud pada
+ayat (1), dapat dilakukan oleh badan usaha milik
+negara yang bekerja sama dengan sesama badan usaha
+milik swasta.
+(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
-285
-(3) Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral
-ikutan radioaktif.
-(4) Badan usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
-pertambangan mineral dan batubara yang
-menghasilkan Mineral Ikutan Radioaktif sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) wajib mengolah dan/atau
-menyimpan sementara Mineral Ikutan Radioaktif sesuai
-ketentuan peraturan perundang-undangan.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+(4) Pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) termasuk pertambangan yang
+menghasilkan mineral ikutan radioaktif.
+(5) Badan usaha terkait pertambangan mineral dan
+batubara yang menghasilkan Mineral Ikutan Radioaktif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki
+Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
+(6) Dalam hal orang perseorangan ataupun badan usaha
+menemukan Mineral Ikutan Radioaktif wajib
+mengalihkan kepada Negara atau Badan Usaha Milik
+Negara sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
+(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pertambangan Bahan
+Galian Nuklir dan Mineral Ikutan Radioaktif diatur
+dengan Peraturan Pemerintah.
+222
5. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Pengawasan terhadap pemanfaatan tenaga nuklir
-dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
+dilaksanakan oleh Badan Pengawas.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui peraturan, perizinan, dan
inspeksi.
@@ -9430,18 +8804,9 @@ Peraturan Pemerintah.
instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor
nuklir wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.
-(3) Dalam hal kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembangunan,
-286
-pengoperasian reaktor nuklir, dan instalasi nuklir
-lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
-instansi Pemerintah Pusat harus memperoleh
-persetujuan dari Pemerintah Pusat.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan
-Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
+Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 18 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
@@ -9452,6 +8817,7 @@ Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai inspeksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
+223
10. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
@@ -9459,30 +8825,30 @@ Pasal 25
lestari limbah radioaktif tingkat tinggi.
(2) Penentuan tempat penyimpanan lestari sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah
-Pusat.
+setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
+Rakyat Republik Indonesia.
11. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1) Barang siapa membangun, mengoperasikan,
memanfaatkan dan/atau melakukan dekomisioning
-reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana
-287
+reaktor nuklir tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan
-pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
-denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
-rupiah)
+pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
+denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh
+miliar rupiah)
(2) Barang siapa melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang menimbulkan
kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara
-seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua
-puluh) tahun atau denda paling banyak
-Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
-(3) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana
-dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
+seumur hidup atau pidana penjara paling lama 15 (lima
+belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
+20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
+(3) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar denda
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2),
+dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Paragraf 7
Perindustrian
-Pasal 45
+Pasal 44
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
pelaku usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor Perindustrian,
@@ -9490,7 +8856,35 @@ beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5492) diubah:
-1. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
+224
+1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 15
+Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
+a. pembangunan sumber daya manusia;
+b. pemanfaatan sumber daya alam;
+c. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
+d. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan
+inovasi;
+e. penyediaan sumber pembiayaan; dan
+f. penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong bagi
+industri.
+2. Diantara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal
+yakni Pasal 48A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 48A
+(1) Untuk menjaga kelangsungan proses produksi
+dan/atau pengembangan industri, Pemerintah
+memberikan kemudahan untuk mendapatkan bahan
+baku dan/atau bahan penolong sesuai rencana
+kebutuhan industri
+(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+termasuk kemudahan dalam mengimpor bahan baku
+dan/atau penolong untuk industri sesuai dengan
+rencana kebutuhan industri.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan untuk
+mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+3. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1) Pemerintah Pusat melakukan perencanaan,
@@ -9498,11 +8892,11 @@ pembinaan, pengembangan, dan pengawasan
Standardisasi Industri.
(2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
-288
(3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
-2. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
+225
+4. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 53
(1) Setiap Orang dilarang:
@@ -9518,7 +8912,7 @@ pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
-3. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
+5. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 57
(1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud
@@ -9531,15 +8925,15 @@ sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang
telah terakreditasi.
(3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
-pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib
-289
+pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi
-dan terdaftar oleh Pemerintah Pusat.
+dan ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-4. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
+226
+6. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 59
(1) Pemerintah Pusat mengawasi pelaksanaan seluruh
@@ -9549,8 +8943,8 @@ SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
-Pusat dapat bekerjasama dengan lembaga terakreditasi.
-5. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pusat dapat menunjuk lembaga terakreditasi.
+7. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 84
(1) Industri Strategis dikuasai oleh negara.
@@ -9566,7 +8960,6 @@ serta keamanan negara.
(3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengaturan kepemilikan;
-290
b. penetapan kebijakan;
c. pengaturan Perizinan Berusaha;
d. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan
@@ -9579,6 +8972,7 @@ b. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah
Pusat dan swasta; atau
c. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
+227
(5) Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi:
a. penetapan jenis Industri Strategis;
@@ -9597,10 +8991,9 @@ objek vital nasional dan pengawasan distribusi.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-6. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
+8. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 101
-291
(1) Setiap kegiatan Industri wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada
@@ -9614,15 +9007,16 @@ a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses,
hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan.
-7. Ketentuan Pasal 102 dihapus.
-8. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
+9. Ketentuan Pasal 102 dihapus.
+228
+10. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3)
dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
-9. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
+11. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 105
(1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib
@@ -9630,18 +9024,18 @@ memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
(2) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar
Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
-(3) Perusahaan Kawasan Industri dapat melakukan
-perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan
-perundang-undangan.
-292
-10. Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal
-yakni, Pasal 105A yang berbunyi sebagai berikut:
+(3) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan
+perluasan wajib memiliki Perizinan Berusaha dari
+pemerintah pusat.
+12. Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal
+baru yakni, Pasal 105A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 105A
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha kawasan industri
yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai
-dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
-kawasan ekonomi khusus.
-11. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
+dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
+kawasan ekonomi khusus yang ditetapkan dengan
+pemerintah pusat.
+13. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
(1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri
@@ -9651,10 +9045,12 @@ dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan
Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi
di daerah kabupaten/kota yang:
a. belum memiliki Kawasan Industri;
+229
b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh
kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah
-habis;
-c. zona industri dalam kawasan ekonomi khusus.
+habis; atau
+c. terdapat Kawasan Ekonomi Khusus yang memiliki
+zona industri.
(3) Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi:
@@ -9665,13 +9061,12 @@ b. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus
dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi
khusus.
(4) Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri
-293
+dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri.
(5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
-12. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
+14. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
@@ -9681,7 +9076,7 @@ berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif
dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 107 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-13. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai
+15. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 115
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan,
@@ -9690,17 +9085,17 @@ pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri.
ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau
b. penyampaian informasi dan/atau laporan.
+230
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta
masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai
+16. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 117
(1) Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan dan
pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan
kegiatan usaha Kawasan Industri.
-294
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan
dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang
@@ -9715,8 +9110,7 @@ a. sumber daya manusia Industri;
b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. manajemen energi;
d. manajemen air;
-e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata
-cara;
+e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara;
f. Data Industri dan Data Kawasan Industri;
g. standar Industri Hijau;
h. standar Kawasan Industri;
@@ -9726,76 +9120,15 @@ j. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil
produksi, penyimpanan, dan pengangkutan.
(4) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat
-dapat bekerja sama dengan lembaga terakreditasi.
+dapat menunjuk lembaga terakreditasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan
Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-15. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
-Pasal 119
-295
-(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di
-lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
-tanggungjawabnya dibidang perindustrian diberi
-wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri
-Sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
-penyidikan tindak pidana.
-(2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) diberi kewenangan untuk:
-a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan
-sehubungan dengan tindak pidana;
-b. menerima laporan atau keterangan tentang adanya
-tindak pidana;
-c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
-sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana;
-d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap
-orang yang diduga melakukan tindak pidana;
-e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang
-diduga melakukan tindak pidana;
-f. memotret dan/atau merekam melalui media
-elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara,
-atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak
-pidana;
-g. memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak
-pidana;
-h. mengambil sidik jari dan identitas orang;
-i. menggeledah tempat-tempat tertentu yang
-dicurigai adanya tindak pidana;
-j. menyita benda yang diduga kuat merupakan
-barang yang digunakan untuk melakukan tindak
-pidana;
-296
-k. mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau
-dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti
-sehubungan dengan tindak pidana;
-l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam
-hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak
-pidana;
-m. menghentikan proses penyidikan;
-n. meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia
-atau instansi lain untuk melakukan penanganan
-tindak pidana; dan
-o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang
-berlaku.
-(3) Kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah
-koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Negara
-Republik Indonesia.
-(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberitahukan
-dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan,
-dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada
-Penuntut Umum dengan tembusan kepada pejabat
-Polisi Negara Republik Indonesia.
-(5) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil
-tertentu dapat meminta bantuan kepada aparat
-penegak hukum.
+231
Paragraf 8
Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian
-Pasal 46
-297
+Pasal 45
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari
sektor perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan
@@ -9814,11 +9147,7 @@ c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5604); dan
-d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang
-Standardisasi dan Penilaian Kesesuian (Lembaran Negara
-Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216, Tambahan
-Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584).
-Pasal 47
+Pasal 46
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
@@ -9826,7 +9155,6 @@ Indonesia Nomor 5512) diubah:
1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
-298
(1) Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau
melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang
yang diperdagangkan di dalam negeri.
@@ -9836,6 +9164,7 @@ administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau
kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
+232
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11
@@ -9851,7 +9180,7 @@ perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk
menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja
sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer
dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada
-koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
+koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2) Pengembangan, penataan, dan pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pengaturan Perizinan Berusaha, tata ruang, zonasi
@@ -9860,7 +9189,6 @@ kemitraan, dan kerja sama usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha,
tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-299
4. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
@@ -9870,13 +9198,13 @@ untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang
diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
(2) Setiap pemilik gudang wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
-(3) Setiap pemilik gudang yang tidak memenuhi Perizinan
+(3) Setiap pemilik gudang yang tidak memiliki Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara
-pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+233
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
@@ -9892,10 +9220,7 @@ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan
administratif Barang sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif
-300
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
+(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
@@ -9917,6 +9242,7 @@ Pasal 30
(1) Pemerintah Pusat dapat meminta data dan/atau
informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan
Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
+234
(2) Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data
dan/atau informasi mengenai persediaan Barang
kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
@@ -9926,8 +9252,7 @@ Pasal 33
(1) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi
ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1) wajib menghentikan kegiatan
-Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
-301
+Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
1. distributor;
2. agen;
3. grosir;
@@ -9951,6 +9276,7 @@ Perdagangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
(2) Setiap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan
penetapan Barang dan/atau Jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
+235
10. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 38
@@ -9960,13 +9286,12 @@ Ekspor dan Impor.
(2) Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
-302
b. peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar
negeri;
c. peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir
sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal; dan
d. peningkatan dan pengembangan produk invensi
-dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri
+dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri.
(3) Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit
meliputi:
a. peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah
@@ -9982,28 +9307,25 @@ nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar
Negeri.
(4) Pengendalian Perdagangan Luar Negeri meliputi:
a. Perizinan Berusaha/persetujuan;
-b. Standar; dan
+b. standar; dan
c. pelarangan dan pembatasan.
11. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1) Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang telah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
+236
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-303
Pasal 43
(1) Eksportir bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
Barang yang diekspor.
(2) Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap
Barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikenai sanksi administratif.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
@@ -10022,15 +9344,12 @@ Barang yang diimpor.
(2) Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang
yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 47
-304
(1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam
keadaan baru.
+237
(2) Dalam hal tertentu Pemerintah Pusat dapat
menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak
baru.
@@ -10057,19 +9376,22 @@ sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk
diekspor.
(2) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai
dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria barang yang
-dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
-(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+(3) Setiap Eksportir dan/atau Importir yang melakukan
+pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
+ayat (2) dikenai sanksi administratif.
+(4) Ketentuan mengenai kriteria barang yang dibatasi
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+238
19. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-305
Pasal 53
(1) Eksportir yang dikenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4)
terhadap Barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) terhadap Barang
+dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) terhadap Barang
impornya wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh
Importir, atau ditentukan lain oleh Pemerintah Pusat.
20. Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -10096,12 +9418,12 @@ b. daya saing produsen nasional dan persaingan
usaha yang sehat;
c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
dan/atau
-306
d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian
kesesuaian.
(5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan
teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian
+(1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian
+239
atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh
Pemerintah Pusat.
(6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan
@@ -10128,15 +9450,14 @@ ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi
secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
-1. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan
-lingkungan hidup;
-307
-2. daya saing produsen nasional dan persaingan
+a. keamanan, keselamatan, kesehatan, dan
+lingkungan hidup;
+b. daya saing produsen nasional dan persaingan
usaha yang sehat;
-3. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
-4. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian
+c. kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
+d. kesiapan infrastruktur lembaga penilaian
kesesuaian; dan/atau
-5. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan
+e. budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan
kearifan lokal.
(4) Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis,
atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud
@@ -10144,7 +9465,8 @@ pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat
kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
(5) Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI,
persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum
-diberlakukan secara wajib dapat menggunakan
+diberlakukan secara wajib dapat menggunakan
+240
sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(6) Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah
@@ -10162,8 +9484,7 @@ yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam hal lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum ada yang terakreditasi,
-Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga penilaian
-308
+Pemerintah Pusat dapat menunjuk lembaga penilaian
kesesuaian dengan persyaratan dan dalam jangka
waktu tertentu.
(3) Lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud
@@ -10184,7 +9505,8 @@ dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
wajib menyediakan data dan/atau informasi secara
lengkap dan benar.
(2) Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan
-Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem
+Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem
+241
elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud
@@ -10195,8 +9517,7 @@ Elektronik.
ayat (1) paling sedikit memuat:
a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai
produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
-b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
-309
+b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang
ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa;
@@ -10228,7 +9549,7 @@ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif
fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan
daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi
dalam negeri.
-310
+242
(4) Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja
sama dengan pihak lain.
@@ -10247,39 +9568,54 @@ produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri
wajib memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(3) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
dagang dan peserta pameran dagang yang tidak
-memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan
-dalam pameran dagang sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) dikenai sanksi administratif.
+memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
-pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-27. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+27. Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal
+baru yakni Pasal 77A yang berbunyi sebagai berikut:
+Pasal 77A
+(1) Pengenaan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 6 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 17 ayat
+(2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (3),
+Pasal 37 ayat (2), Pasal 43 ayat (2), Pasal 46 ayat (2),
+Pasal 52 ayat (4), Pasal 57 ayat (7), Pasal 60 ayat (6),
+Pasal 63, Pasal 65 ayat (6), atau Pasal 77 ayat (3), dapat
+berupa:
+a. teguran tertulis;
+b. penarikan barang dari distribusi;
+c. penghentian sementara kegiatan usaha;
+d. penutupan Gudang;
+e. denda; dan/atau
+f. pencabutan perizinan berusaha.
+243
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+28. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan,
kemudahan dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang
dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-311
-28. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
+29. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
-(1) Pemerintah Pusat mempunyai wewenang melakukan
-pengawasan terhadap kegiatan Perdagangan.
-(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Pusat menetapkan
-kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan.
-(3) Kebijakan pengawasan di bidang Perdagangan diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
-29. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempunyai
+wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan
+Perdagangan.
+(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria
+yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+30. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 99
-(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
-dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
-(2) Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
-wewenang melakukan:
+(1) Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
+mempunyai wewenang melakukan:
a. pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau perintah untuk menarik Barang dari
Distribusi atau menghentikan kegiatan Jasa yang
@@ -10287,17 +9623,17 @@ diperdagangkan tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang
Perdagangan; dan/atau;
b. pencabutan Perizinan Berusaha.
-30. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
+31. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
+244
Pasal 100
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pemerintah Pusat
-menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
-312
+dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemerintah Pusat
+menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
(2) Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam
melaksanakan pengawasan harus membawa surat
tugas yang sah dan resmi.
-(3) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
+(3) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit
melakukan pengawasan terhadap:
a. Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan;
@@ -10312,7 +9648,7 @@ kualifikasi secara wajib;
f. Perizinan Berusaha terkait gudang; dan
g. penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau
Barang penting.
-(4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
+(4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di
bidang Perdagangan dapat:
a. merekomendasikan penarikan Barang dari
@@ -10325,98 +9661,90 @@ di bidang Perdagangan.
dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan
terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas
pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk
-ditindaklanjuti.
-313
-(6) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+ditindaklanjuti.
+(4) Petugas Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam melaksanakan kewenangannya dapat
berkoordinasi dengan instansi terkait.
-31. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
+245
+32. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan
kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang
yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
-32. Ketentuan Pasal 103 dihapus.
33. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 104
(1) Setiap Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau
tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada
Barang yang diperdagangkan di dalam negeri
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
-(lima) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dipidana
+dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
+pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
+(sepuluh miliar rupiah).
+(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
+pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
+dan/atau kegiatan berisiko rendah/sedang dikenai
+sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A ayat
+(1).
+(3) Bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).
34. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 106
-Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha sebelum
-melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana
-314
-penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda
-paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
+(1) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha
+Perdagangan tidak memiliki Perizinan Berusaha di
+bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud dalam
+Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
+lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
+Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
+(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
+pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
+dan/atau kegiatan berisiko rendah/sedang.
+246
+(3) Bagi pelaku usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).
35. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
-(1) Produsen atau Importir yang memperdagangkan
-Barang terkait dengan keamanan, keselamatan,
-kesehatan, dan lingkungan hidup yang belum
-melakukan pendaftaran kepada Menteri sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
-(satu) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang
+terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan
+lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada
+Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
+ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
+terhadap K3L, dipidana dengan pidana penjara paling lama
+1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
+Rp5.000.000.000,00(lima miliar rupiah).
36. Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 115
-(1) Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang
-dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
-yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dikenai
-sanksi administratif denda paling banyak
-Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
-(dua belas) tahun.
-315
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang
+dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang
+tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana
+penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana
+denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar
+rupiah).
37. Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 116
-(1) Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
-dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau
-produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang
-tidak mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
-tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 48
+Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran
+dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk
+yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak
+mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana
+dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
+pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
+miliar rupiah).
+Pasal 47
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
-1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik
+1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik
+247
Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3193) diubah:
1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
@@ -10425,7 +9753,6 @@ Pasal 13
Pemerintah Pusat mengatur tentang:
a. pengujian dan pemeriksaan alat ukur, takar, timbang
dan perlengkapannya;
-316
b. pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan
tera ulang; dan
c. tempat dan daerah dimana dilaksanakan tera dan tera
@@ -10437,11 +9764,11 @@ Pasal 17
(1) Setiap Pelaku Usaha yang membuat dan/atau
memperbaiki alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya wajib memenuhi Perizinan Berusaha
-dari Pemerintah Pusat
+dari Pemerintah Pusat.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang melakukan impor alat ukur,
takar, timbang dan perlengkapannya ke dalam wilayah
-Republik Indonesia harus memenuhi Perizinan
-Berusaha dari Pemerintah Pusat
+Republik Indonesia harus memenuhi Perizinan Berusaha
+dari Pemerintah Pusat.
3. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 18
@@ -10452,12 +9779,12 @@ Peraturan Pemerintah.
berikut:
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan
-terbungkus sebagai mana dimaksud dalam Pasal 22 dan
+terbungkus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan
Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 49
+248
+Pasal 48
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
-2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik
-317
+2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5604) diubah:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1
@@ -10469,13 +9796,13 @@ dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta
barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
-2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal
-sesuai dengan syariat Islam.
+2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan
+halal sesuai dengan syariat Islam.
3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH
adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
-penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan,
-dan penyajian Produk.
+penyimpanan, pengemasan, pendistribusian,
+penjualan, dan penyajian Produk.
4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat
atau menghasilkan Produk.
5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH
@@ -10483,21 +9810,22 @@ adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu
Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang
selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang
-dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.
+dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
+JPH.
7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat
-MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan
-cendekiawan muslim.
+MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama,
+dan cendekiawan muslim.
8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat
LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
-Produk.
-318
+Produk.
9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan
melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.
10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu
-Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa
-halal.
+Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan
+fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.
+249
12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan
usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di
@@ -10508,44 +9836,36 @@ terhadap PPH.
hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama.
-2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
+2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni
Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
(1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban
bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan
+4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan
Kecil.
(2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang
-ditetapkan oleh BPJPH.
+dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar
+halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 7
-(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
+Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
-319
c. MUI.
-(2) Selain bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), BPJPH dapat bekerja sama dengan Ormas Islam yang
-berbadan Hukum.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
-4. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
+4. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi
+sebagai berikut:
Pasal 10
-(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI dan Ormas Islam yang
-berbadan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
-7 ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan dalam hal
-penetapan kehalalan Produk.
+(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam hal penetapan
+kehalalan Produk.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) diterbitkan MUI dan Ormas Islam yang
-berbadan hukum dalam bentuk Keputusan Penetapan
-Halal Produk.
-5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
-berikut:
+pada ayat (1) diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan
+Penetapan Halal Produk.
+250
+5. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi
+sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
@@ -10557,15 +9877,31 @@ dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.
(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh
lembaga keagamaan Islam berbadan hukum
-320
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian LPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-6. Ketentuan Pasal 14 dihapus.
+6. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi
+sebagai berikut:
+Pasal 14
+(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
+huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
+(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
+a. warga negara Indonesia;
+b. beragama Islam;
+c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu)
+di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri,
+biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau
+pertanian;
+d. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai
+kehalalan produk menurut syariat Islam; dan
+e. mendahulukan kepentingan umat di atas
+kepentingan pribadi dan/atau golongan.
7. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
-(1) Auditor Halal bertugas:
+Auditor Halal bertugas:
+251
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan
Produk;
@@ -10574,12 +9910,9 @@ d. meneliti lokasi Produk;
e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan
penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
-g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha;
-dan
-h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau
-pengujian kepada LPH.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Auditor Halal diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
+h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
+kepada LPH.
8. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
@@ -10590,20 +9923,20 @@ berikut:
Pasal 22
(1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat,
dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
-ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
-321
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif diatur dengan Peraturan
-Pemerintah.
+ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administratif.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai, kriteria, jenis,
+besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
+administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 27
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 atau Pasal 26
ayat (2) dikenai sanksi administratif.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai, kriteria, jenis,
+besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
+administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+252
11. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
@@ -10614,18 +9947,24 @@ b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat
pemeriksaan.
-(2) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan
+(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
+a. beragama Islam; dan
+b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat
+tentang kehalalan.
+(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan
dan dilaporkan kepada BPJPH.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+(4) Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh Pelaku Usaha
+mikro dan kecil, Penyelia Halal dapat berasal dari
+Organisasi Kemasyarakatan.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur
+dalam Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 29
(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan
-dokumen:
-322
+dokumen:
a. data Pelaku Usaha
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
@@ -10635,6 +9974,7 @@ dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
+253
13. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
@@ -10658,82 +9998,74 @@ usaha pada saat proses produksi.
(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan
kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di
-laboratorium.
-323
-(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha
+laboratorium.
+(4) Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud
+pada ayat (3) memerlukan tambahan waktu
+pemeriksaan, LPH dapat mengajukan perpanjangan
+waktu kepada BPJPH.
+(5) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata pemeriksaan
+(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan produk diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
15. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau
-pengujian kehalalan Produk kepada MUI atau Ormas
-Islam yang berbadan hukum dengan tembusan yang
-dikirimkan kepada BPJPH.
+pengujian kehalalan Produk kepada MUI dengan
+tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH.
+254
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kehalalan Produk tidak sesuai standar yang dimiliki
oleh BPJPH, BPJPH menyampaikan pertimbangan
-kepada MUI atau Ormas Islam yang berbadan hukum
-yang ditunjuk untuk mengeluarkan fatwa.
+kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa.
16. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
-(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dan
-dapat dilakukan oleh Ormas Islam yang berbadan
-hukum.
+(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
-(3) Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk
-paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI atau Ormas
-Islam yang berbadan hukum menerima hasil
-pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH.
+(3) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat
+(2) memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga)
+hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan
+dan/atau pengujian produk dari LPH.
(4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
-pada ayat (2) disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar
-penerbitan Sertifikat Halal.
-324
-17. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal
-yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 34A
-Dalam hal produk yang dibuat berasal dari bahan yang
-sudah bersertifikat halal dan memenuhi standar proses
-produk halal berdasarkan pemeriksaan oleh LPH, BPJPH
-langsung menerbitkan sertifikat halal.
-18. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
+pada ayat (2) disampaikan oleh MUI kepada BPJPH
+sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.
+17. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1
-(satu) hari kerja terhitung sejak penetapan kehalalan
-produk.
-19. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal
-baru yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:
+(satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk.
+18. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) Pasal
+yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A
-(1) Dalam hal LPH dan/atau MUI atau Ormas Islam yang
-berbadan hukum tidak dapat memenuhi batas waktu
-yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal,
-BPJPH mempunyai wewenang mengambil alih proses
-sertifikasi halal.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan BPJPH
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
-20. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(1) Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang
+telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal maka
+LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi
+administrasi.
+(2) Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang
+telah ditetapkan dalam proses memberikan/
+menetapkan fatwa maka BPJPH dapat langsung
+menerbitkan sertifikat halal.
+255
+19. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-21. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
+20. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
-325
(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif .
-(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
-administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-22. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pasal 38 atau Pasal 39 dikenai sanksi administratif .
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
+sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+21. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak
@@ -10751,73 +10083,60 @@ menerbitkan perpanjangan sertifikat halal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
perpanjangan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-23. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
+22. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 44
(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku
-Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
+Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
+256
(2) Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana
-dimaksud ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro
-dan Kecil, tidak dikenai biaya.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Sertifikasi Halal
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-326
-24. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
+dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha
+Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya.
+23. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 48
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai
sanksi administratif.
-(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
-administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
+sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+24. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 53
+(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan
+JPH.
+(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
+ayat (1) dapat berupa :
+a. melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai JPH;
+b. pendampingan dalam proses produk halal;
+c. publikasi bahwa produk berada dalam proses
+pendampingan;
+d. pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan
+hukum; dan
+e. pengawasan Produk Halal yang beredar.
+(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk
+Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat
+(2) huruf e berbentuk pengaduan atau pelaporan ke
+BPJPH.
25. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
+257
26. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
-(1) Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk
-yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling banyak
-Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
-(2) Dalam hal Pelaku Usaha tidak memenuhi kewajiban
-pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
-lama 5 (lima) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 50
-Ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014
-tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuian (Lembaran
-327
-Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 216, Tambahan
-Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5584) diubah
-sehingga berbunyi sebagai berikut:
-Pasal 64
-(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
-a. membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian
-pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar
-ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau
-b. membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor
-SNI pada sertifikatnya,
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dikenai
-sanksi administratif berupa denda paling banyak
-Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
-dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat)
-bulan.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
-dengan Peraturan Pemerintah.
+Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang
+telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud
+dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara
+paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
+Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Paragraf 9
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
-Pasal 51
+Pasal 49
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama
Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dan
kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum
@@ -10825,8 +10144,7 @@ dan perumahan rakyat, Undang-Undang ini mengubah,
menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa
ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
-dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik
-328
+dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5158);
b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah
@@ -10841,11 +10159,12 @@ d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber
Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6405).
-Pasal 52
+Pasal 50
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) diubah:
+258
1. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
@@ -10859,17 +10178,16 @@ Pasal 29
(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus
memenuhi standar.
-329
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 33
-(1) Pemerintah Pusat wajib memberikan kemudahan
-Perizinan Berusaha bagi badan hukum yang
-mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk
-MBR.
+(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
+memberikan kemudahan Perizinan Berusaha bagi
+badan hukum yang mengajukan rencana
+pembangunan perumahan untuk MBR.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
@@ -10882,28 +10200,50 @@ dan rumah mewah.
5. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 36
+259
(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian
-berimbang tidak dalam satu hamparan sebagaimana
-dimaksud pada Pasal 34 ayat (2), pembangunan rumah
-umum:
-a. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
-yang sama;
-b. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
-yang berbatasan.
+berimbang tidak dalam 1 (satu) hamparan,
+pembangunan rumah umum harus dilaksanakan
+dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun
dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat
-dikonversi dalam bentuk rumah susun umum.
-330
-(3) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud
+dikonversi dalam:
+a. bentuk rumah susun umum yang dibangun dalam
+satu hamparan yang sama; atau
+b. bentuk dana untuk pembangunan rumah umum.
+(3) Pengelolaan dana dari konversi sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan oleh badan
+percepatan penyelenggaraan perumahan.
+(4) Dalam hal rumah sederhana tidak dapat dibangun
+dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret, dapat
+dikonversi dalam bentuk rumah susun umum.
+(5) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat
pelayanan atau tempat kerja.
-(4) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang
+(6) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
badan hukum yang sama.
-(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan
+(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan
perumahan dengan hunian berimbang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
-6. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
+6. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 40
+(1) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pemerintah dan/atau
+Pemerintah Daerah menugasi dan/atau membentuk
+lembaga atau badan yang menangani pembangunan
+perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan
+peraturan perundang-undangan.
+(2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat
+(1) bertanggung jawab:
+a. menyediakan rumah umum, rumah khusus, dan
+rumah negara;
+b. menyediakan tanah bagi perumahan; dan
+c. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan
+pemastian kelayakan hunian.
+260
+7. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun
@@ -10918,54 +10258,86 @@ b. hal yang diperjanjikan;
c. Persetujuan Bangunan Gedung;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
dan
-e. keterbangunan perumahan.
+e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua
+puluh persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian
pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan keterbangunan perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
-7. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
+8. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-331
Pasal 53
(1) Pengendalian perumahan dilakukan mulai dari tahap:
a. perencanaan;
b. pembangunan; dan
c. pemanfaatan.
(2) Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada
-ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam
-bentuk:
-a. perizinan;
+ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau
+pemerintah daerah sesuai norma, standar, prosedur,
+dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
+dalam bentuk:
+a. Perizinan Berusaha atau Persetujuan;
b. penertiban; dan/atau
c. penataan.
+261
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian
perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-8. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
+9. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 55
+(1) Orang perseorangan yang memiliki rumah umum dengan
+kemudahan yang diberikan Pemerintah Pusat atau
+Pemerintah Daerah hanya dapat menyewakan dan/atau
+mengalihkan kepemilikannya atas rumah kepada pihak
+lain, dalam hal:
+a. pewarisan; atau
+b. penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5
+(lima) tahun.
+(2) Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
+pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang
+ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah Pusat atau
+Pemerintah Daerah dalam bidang perumahan dan
+pemukiman.
+(3) Jika pemilik meninggalkan rumah secara terus-menerus
+dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tanpa
+memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian,
+Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berwenang
+mengambil alih kepemilikan rumah tersebut.
+(4) Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat
+atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada
+ayat (2) wajib didistribusikan kembali kepada MBR.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penujukkan dan
+pembentukan lembaga, kemudahan dan/atau bantuan
+pembangunan dan perolehan rumah MBR diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+10. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 107
(1) Tanah yang langsung dikuasai oleh negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang
digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan,
dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui
-pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang
+pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang
+262
melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan
kawasan permukiman.
(2) Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada penetapan lokasi atau
-kesesuian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
+persetujuan kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
(3) Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan
masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku
pembangunan perumahan dan permukiman selaku
pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas
seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
-332
(4) Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
-9. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
+11. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 109
(1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
@@ -10973,49 +10345,113 @@ Pasal 109
rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
(2) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh
bupati/wali kota.
-(3) Khusus untuk DKI Jakarta, penetapan lokasi
-konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur.
+(3) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota
+Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan
+oleh gubernur.
(4) Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
-memerlukan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
-10. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
+memerlukan persetujuan Kesesuaian Kegiatan
+Pemanfaatan Ruang.
+12. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 114
(1) Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah
-badan hukum memperoleh Kesesuaian Kegiatan
-Pemanfaatan Ruang
+badan hukum memperoleh persetujuan Kesesuaian
+Kegiatan Pemanfaatan Ruang
(2) Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah
setelah tercapai kesepakatan bersama.
+263
(3) Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
(4) Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib
-didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota
-333
+didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
-11. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
+13. Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) BAB yakni
+BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
+BAB IXA
+BADAN PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
+Pasal 117A
+(1) Untuk mewujudkan penyediaan rumah umum yang
+layak dan terjangkau bagi MBR, Pemerintah Pusat
+membentuk badan percepatan penyelenggaraan
+perumahan.
+(2) Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan
+perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+bertujuan untuk:
+a. mempercepat penyediaan rumah umum;
+b. menjamin bahwa rumah umum hanya dimiliki dan
+dihuni oleh MBR;
+c. menjamin tercapainya asas manfaat rumah umum;
+dan
+d. melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah
+umum dan rumah khusus.
+(3) Badan percepatan penyelenggaraan perumahan
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi
+mempercepat penyelenggaraan perumahan dan kawasan
+permukiman.
+(4) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
+pada ayat (3), badan percepatan penyelenggaraan
+perumahan bertugas:
+a. melakukan upaya percepatan pembangunan
+perumahan.
+b. melaksanakan pengelolaan dana konversi dan
+pembangunan rumah sederhana serta rumah susun
+umum.
+264
+c. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan
+pemastian kelayakan hunian.
+d. melaksanakan penyediaan tanah bagi perumahan.
+e. melaksanakan pengelolaan rumah susun umum dan
+rumah susun khusus serta memfasilitasi
+penghunian, pengalihan, dan pemanfaatan;
+f. melaksanakan pengalihan kepemilikan rumah umum
+dengan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah.
+g. menyelenggarakan koordinasi operasional lintas
+sektor, termasuk dalam penyediaan prasarana,
+sarana, dan utilitas umum;
+h. melakukan pengembangan hubungan kerja sama di
+bidang rumah susun dengan berbagai instansi di
+dalam dan di luar negeri.
+Pasal 117B
+(1) Badan percepatan penyelenggaraan perumahan
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117A terdiri atas:
+a. unsur pembina;
+b. unsur pelaksana; dan
+c. unsur pengawas.
+(2) Unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
+huruf c berjumlah 5 (lima) orang yang proses seleksi dan
+pemilihannya dilakukan oleh DPR.
+(3) Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan
+perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
+(4) Unsur Pembina, unsur pelaksana, dan unsur pengawas
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
+Keputusan Presiden.
+14. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 134
Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan
perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang
diperjanjikan, dan standar.
-12. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai
+265
+15. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 150
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan
kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), 29
-ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2),
-Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal
-45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat
-(2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal
-134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal
-139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal
-144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi
-administratif.
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), Pasal
+29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) atau ayat
+(2), Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 38 ayat (4),
+Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Pasal
+49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat
+(2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal
+138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal
+143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1)
+dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
@@ -11024,62 +10460,55 @@ c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau penghentian tetap
pada pengelolaan perumahan;
-e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
-334
+e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
f. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam
jangka waktu tertentu;
-g. pembatasan kegiatan usaha;
-h. pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
-i. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
-j. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan
+g. membangun kembali perumahan sesuai dengan
+kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana,
+utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar;
+h. pembatasan kegiatan usaha;
+i. pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
+j. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
+k. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan
rumah;
-k. perintah pembongkaran bangunan rumah;
-l. pembekuan Perizinan Berusaha;
-m. pencabutan Perizinan Berusaha;
-n. pengawasan;
-o. pembatalan Perizinan Berusaha;
-p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka
+l. perintah pembongkaran bangunan rumah;
+m. pembekuan Perizinan Berusaha;
+n. pencabutan Perizinan Berusaha;
+o. pengawasan;
+p. pembatalan Perizinan Berusaha;
+q. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka
waktu tertentu;
-q. pencabutan insentif;
-r. pengenaan denda administratif; dan/atau
-s. penutupan lokasi.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda,
-tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-13. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
+266
+r. pencabutan insentif;
+s. pengenaan denda administratif; dan/atau
+t. penutupan lokasi.
+(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+16. Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 151
-(1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan
-perumahan, yang tidak sesuai dengan kriteria,
-spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas
-umum yang diperjanjikan dan standar sebagaimana
-dimaksud dalam Pasal 134 dikenai sanksi administratif
-berupa denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
-miliar rupiah).
-(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi sanksi tambahan
-335
-berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan
-kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana,
-utilitas umum yang diperjanjikan, dan standar.
-14. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan
+perumahan, yang membangun perumahan tidak sesuai
+dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana,
+dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana
+dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya
+korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan,
+keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana denda
+paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
+17. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 153
(1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian
atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan
hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan
perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 136, dikenai sanksi administratif berupa denda
-denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
-rupiah).
-(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan
-berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
-sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-Pasal 53
+Pasal 136, dikenai sanksi administratif.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
+sanksi administratif diatur dengan Peraturan
+Pemerintah.
+Pasal 51
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
@@ -11087,26 +10516,32 @@ Republik Indonesia Nomor 5252) diubah:
1. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
+267
(1) Pembangunan rumah susun komersial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan
oleh setiap orang.
(2) Pelaku pembangunan rumah susun komersial
-sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
-336
-menyediakan rumah susun umum sekurangkurangnya 20% (dua puluh persen) dari total luas
-lantai rumah susun komersial yang dibangun.
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
+menyediakan rumah susun umum paling sedikit 20%
+(dua puluh persen) dari total luas lantai rumah susun
+komersial yang dibangun.
(3) Dalam hal pembangunan rumah susun umum
-sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dalam satu
-lokasi kawasan rumah susun komersial, pembangunan
-rumah susun umum:
-a. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
-yang sama;
-b. dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota
-yang berbatasan.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dalam 1
+(satu) lokasi kawasan rumah susun komersial
+pembangunan rumah susun umum dapat
+dilaksanakan dalam 1 (satu) daerah kabupaten/kota
+yang sama.
+(4) Kewajiban menyediakan rumah susun umum paling
+sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2) dapat dikonversi dalam bentuk dana
+untuk pembangunan rumah susun umum.
+(5) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
+dilaksanakan oleh Badan Percepatan Penyelenggaraan
+Perumahan.
+(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban
menyediakan rumah susun umum sebagaimana
-dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
-Peraturan Pemerintah.
+dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
+dalam Peraturan Pemerintah.
2. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 24
@@ -11117,19 +10552,26 @@ c. persyaratan ekologis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan
rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+268
3. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 26
(1) Pemisahan rumah susun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk
-gambar dan uraian.
-337
+gambar dan uraian.
(2) Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan rumah
susun.
(3) Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang
-disahkan oleh Pemerintah Pusat.
+disahkan oleh bupati/walikota sesuai dengan norma,
+standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat.
+(4) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
+akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
+disahkan oleh Gubernur sesuai dengan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat.
4. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
@@ -11144,23 +10586,36 @@ Pasal 29
(1) Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun
dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan
pemanfaatannya.
-(2) Dalam hal pembangunan dilakukan oleh Pemerintah,
-rencana fungsi dan pemantaatan sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
-dari Pemerintah Pusat.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan
-pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur
-dalam Peraturan Pemerintah.
+(2) Rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan
+Berusaha dari bupati/walikota sesuai dengan norma,
+standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah.
+(3) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
+rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud
+269
+pada ayat (2) harus mendapatkan Perizinan Berusaha
+dari Gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur,
+dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah.
+(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan
+pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur dalam
+Peraturan Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 31
(1) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah
-susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
-338
-harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
-Pusat.
-(2) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah
+susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
+harus memenuhi Perizinan Berusaha dari
+bupati/walikota sesuai norma, standar, prosedur, dan
+kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+(2) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
+pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah
+susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
+memenuhi Perizinan Berusaha dari Gubernur sesuai
+norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
+oleh Pemerintah Pusat.
+(3) Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan rumah
susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi fungsi bagian bersama, benda bersama,
dan fungsi hunian.
@@ -11174,12 +10629,20 @@ diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
+270
(1) Pelaku pembangunan wajib mengajukan permohonan
-sertifikat laik fungsi kepada Pemerintah Pusat setelah
+sertifikat laik fungsi kepada bupati/walikota setelah
menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan
rumah susun sepanjang tidak bertentangan dengan
-Persetujuan Bangunan Gedung.
-(2) Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat laik fungsi
+Persetujuan Bangunan Gedung sesuai norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
+Pusat.
+(2) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota
+Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Gubernur
+sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
+ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
+(3) Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi
setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi
bangunan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
@@ -11190,8 +10653,7 @@ Pasal 40
rumah susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas
umum.
(2) Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana
-dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
-339
+dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
a. kemudahan dan keserasian hubungan dalam
kegiatan sehari-hari;
b. pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan;
@@ -11204,6 +10666,7 @@ pelayanan minimal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
+271
12. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 43
@@ -11215,108 +10678,163 @@ setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
a. status kepemilikan tanah;
b. Persetujuan Bangunan Gedung;
c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
-d. keterbangunan rumah susun;
+d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh
+persen); dan
e. hal yang diperjanjikan.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keterbangunan rumah
-susun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-13. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
+13. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
+berikut:
+Pasal 54
+(1) Sarusun umum yang memperoleh kemudahan dari
+pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa oleh MBR.
+(2) Setiap orang yang memiliki sarusun umum sebagaimana
+dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengalihkan
+kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal:
+a. pewarisan; atau
+b. perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka
+waktu 20 (dua puluh) tahun.
+(3) Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
+hanya dapat dilakukan oleh badan pelaksana.
+(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan
+sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dan
+kriteria dan tata cara pemberian kemudahan
+kepemilikan sarusun umum sebagaimana dimaksud
+pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
+14. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 56
-340
(1) Pengelolaan rumah susun meliputi kegiatan
operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
+272
(2) Pengelolaan rumah susun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan oleh pengelola yang
berbadan hukum, kecuali rumah susun umum sewa,
rumah susun khusus, dan rumah susun negara.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
-wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
+harus mendaftar dan mendapatkan Perizinan Berusaha
+dari bupati/walikota sesuai dengan norma, standar,
+prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
-sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
-14. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
+(4) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota
+Jakarta, badan hukum sebagaimana dimaksud pada
+ayat (3) harus mendaftar dan mendapatkan Perizinan
+Berusaha dari Gubernur sesuai dengan norma,
+standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
+Pemerintah Pusat.
+(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
+sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
+diatur dengan Peraturan Pemerintah.
+15. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-Pasal 108
-(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 107 tidak menghilangkan tanggung jawab
-pemulihan.
-(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan tata cara
-pengenaan sanksi administratif diatur dengan
-Peraturan Pemerintah.
-15. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pasal 67
+(1) Dalam pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a,
+PPPSRS dapat bekerja sama dengan pelaku
+pembangunan rumah susun.
+(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat di
+hadapan pejabat yang berwenang berdasarkan prinsip
+kesetaraan.
+(3) Pelaksanaan peningkatan kualitas rumah susun umum
+dan rumah susun khusus dilaksanakan oleh Badan
+Pelaksana.
+16. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-Pasal 109
-(1) Setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial
-yang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan
-rumah susun umum sekurang-kurangnya 20% (dua
-puluh persen) dari total luas lantai rumah susun
-komersial yang dibangun sebagaimana dimaksud
-dalam Pasal 97 dikenai sanksi administratif berupa
-denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
-miliar rupiah).
-341
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
-tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-16. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pasal 72
+(1) Untuk mewujudkan rumah susun yang layak dan
+terjangkau bagi MBR, Pemerintah Pusat membentuk
+Badan Pelaksana.
+(2) Penugasan atau membentuk Badan Pelaksana
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
+:
+273
+a. mempercepat penyediaan rumah susun umum dan
+rumah susun khusus terutama di perkotaan;
+b. menjamin bahwa rumah susun umum hanya
+dimiliki dan dihuni oleh MBR;
+c. menjamin tercapainya asas manfaat rumah susun
+umum;
+d. melaksanakan berbagai kebijakan di bidang rumah
+susun umum dan rumah susun khusus.
+(3) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
+mempunyai fungsi pelaksanaan pembangunan,
+pengalihan kepemilikan, dan distribusi rumah susun
+umum dan rumah susun khusus secara terkoordinasi
+dan terintegrasi.
+(4) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
+pada ayat (3), Badan Pelaksana bertugas:
+a. melaksanakan pembangunan rumah susun umum
+dan rumah susun khusus;
+b. menyelenggarakan koordinasi operasional lintas
+sektor termasuk dalam penyediaan prasarana,
+sarana, dan utilitas umum;
+c. melaksanakan peningkatan rumah susun umum
+dan rumah susun khusus;
+d. melaksanakan penyediaan tanah untuk
+pembangunan rumah susun umum dan rumah
+susun khusus;
+e. memfasilitasi penghunian, pengalihan,
+pemanfaatan, serta pengelolaan rumah susun
+umum dan rumah susun khusus;
+f. melaksanakan verifikasi pemenuhan persyaratan
+terhadap calon pemilik dan/atau penghuni rumah
+susun umum dan rumah susun khusus; dan
+g. melakukan pengembangan dan kerjasama di
+bidang rumah susun dengan berbagai instansi di
+dalam atau di luar negeri.
+17. Ketentuan Pasal 73 dihapus.
+18. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-Pasal 110
-(1) Pelaku pembangunan yang melanggar ketentuan
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling banyak
-Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
-(empat) tahun.
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-17. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pasal 107
+Setiap orang yang menyelenggarakan rumah susun tidak
+memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
+16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat
+274
+(1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3),
+Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal
+74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai
+sanksi administratif.
+19. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
-Pasal 112
-(1) Setiap orang yang membangun rumah susun di luar
-lokasi yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 100 dikenai sanksi administratif berupa denda
-paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
-tahun.
-342
-(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-18. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Pasal 108
+(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
+107 dapat berupa:
+a. peringatan tertulis;
+b. pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau
+kegiatan usaha;
+c. penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan
+pembangunan;
+d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada
+pengelolaan rumah susun;
+e. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
+f. pencabutan sertifikat laik fungsi;
+g. pencabutan SHM sarusun atau SKBG sarusun;
+h. perintah pembongkaran bangunan rumah susun;
+i. denda administratif; dan/atau
+j. pencabutan Perizinan Berusaha.
+(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
+denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
+sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
+Peraturan Pemerintah.
+(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
+pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab
+pemulihan.
+20. Ketentuan Pasal 110 dihapus.
+21. Ketentuan Pasal 112 dihapus.
+22. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 113
-(1) Setiap orang yang:
-a. mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang
-sudah ditetapkan; atau
-b. mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun
-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 dikenai sanksi
-administratif berupa denda paling banyak
-Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
-(2) Dalam hal pelaku tidak melaksanakan kewajiban
-pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
-tahun.
-(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat
-(1) mengakibatkan bahaya bagi nyawa orang atau
-barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
-lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
-Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
-(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
-administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
-diatur dengan Peraturan Pemerintah.
-19. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
+Setiap orang yang:
+a. mengubah peruntukan lokasi rumah susun yang sudah
+ditetapkan; atau
+275
+b. mengubah fungsi dan pemanfaatan rumah susun,
+sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 menimbulkan
+korban terhadap manusia atau kerusakan barang, pelaku
+dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
+atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus
+lima puluh juta rupiah).
+23. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 114
Setiap pejabat yang:
@@ -11324,30 +10842,30 @@ a. menetapkan lokasi yang berpotensi menimbulkan
bahaya untuk pembangunan rumah susun; atau
b. mengeluarkan Persetujuan Bangunan Gedung rumah
susun yang tidak sesuai dengan lokasi peruntukan,
-343
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
-20. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai
+24. Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 117
(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
-Pasal 109 sampai dengan Pasal 116 dilakukan oleh
-badan hukum, maka selain pidana